Senin, 19 April 2010

Semua Umat Beragama Dapat Pahala

Semua “Umat Beragama” Mendapat Pahala Tuhan

 

(Nugroho. S.Th.I[1])

 

 

A. Pendahuluan

            Agama yang penulis maksud dalam judul ini adalah agama samawi atau agama yang telah diturunkan oleh Tuhan dan agama yang memerintahkan kepada penganutnya menyembah hanya kepada Allah yang kita kenal dengan istilah monoteisme atau tauhid. Umat beragama yang mendapat pahala tentunya adalah umat beragama yang melaksanakan semua apa yang telah diperintahkan dalam agama tersebut. Agama yang termasuk kedalam agama samawi ini adalah Islam, Yahudi dan Nasrani.

Permasalahan tentang  umat beragama mendapat atau tidaknya umat pahala disini adalah dalam tataran sudut pandang  informasi dalam kitab suci yang mana kitab suci yang penulis maksudkan adalah Alquran yaitu dalam surat albaqarah ayat 62. Dengan  judul Semua” Umat Beragama” Mendapat pahala dari Tuhan  disini  penulis inginkan dan harapkan yaitu mengajak “umat beragama” terutama Islam (bukan berarti selain islam tidak) untuk melakukan dan mengadakan dialog baik dalam intern umat baeragama maupun ekstern,  agar tercapai kedamaian diantara kehidupan sesama umat beragama karena pada dasarnya semua umat manusia yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat kebajikan semua akan mendapat pahala dari Tuhan dan mendapatkan kedamaian.

            Dalam tumbuh kembangnya kehidupan manusia selalu diikuti oleh berkembangnya pemahaman keagamaan dan pada saat itu pula selalu diiringi dengan konflik yang disebabkan salah satunya oleh agama[2], dan memang agama menurut Burhanuddin Daya merupakan modal keyakinan yang memiliki sumber elan fital rohani yang sangat besar arti dan pengaruhnya dalam pembentukan alam pikir dan sikap hidup manusia, dibanding dengan sumber-sumber keyakinan lain.[3] Seperti partai politik, sehingga agama dimanfaatkan sebagai usaha politik, karena sebab ini pula dalam masyarakat religius, segala program yang dilancarkan melalui agama akan merupakan jalan yang paling pendek dan mulus untuk ditempuh dan sebaliknya setiap langkah atau program yang mengabaikan agama akan sama saja dengan menegakkan benang basah.

Seringkali agama berpotensi sebagai sumber konflik bagi kehidupan manusia baik interumat beragama, antar umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah hal ini dapat kita lihat dari sepanjang sejarah kehidupan manusia baik di luar negeri maupun di Indonesia ini dikarenakan kurangnya toleransi, yang salah satunya disebabkan kurangnya sikap toleransi yang disebabkan kurangnya interaksi sesama umat beragama, dimana interaksi ini  salah satunya dapat diwujudkan dalam  kegiatan dialog.[4]Dengan makalah ini penulis akan mencoba mendialogkan tema agama dengan melihat dari persamaannya yaitu dari sisi balasan pahala dari Tuhan yang akan diperoleh masing-masing agama dari sudut pandang Alquran yaitu surat albaqrah ayat 62.

 

B. Balasan Pahala Pada Setiap Umat Beragama

 

Agama Yahudi. Kristen dan Islam adalah agama yang serumpun dan mepunyai satu asal. Ketiganya muncul ditimur tengah.[5] Yang pertaa kali datang adalah agama Yahudi, dengan nabi Ibrahim dan nabi Musa sebagai pembina utama. Kemudian Kristen dengan Yesus Kristus sebagai pembawa dan selanjutnya Islam dengan Nabi Muhamad Saw, sebagai rasul.dalam sejarah, ketiganya mempunyai perkembangan yang berlainan. Agama Yahudi dan Kristen berkembang di barat, sedangkan Islam berkembang di dunia timur.

Setelah agama kristen lahir, agama baru ini tidak dapat diterima oleh pemeluk-pemeluk agama Yahudi, dan terjadilah pertentangan antara kedua agama tersebut, yang pengaruhnya masih terasa sampai dewasa ini. Demikian pula setelah agama Islam timbul, terjadipula pertentangan antara peeluk agama Yahudi dan pemeluk agama baru itu. Sehingga konflik tersebut berkelanjutan hingga sekarang .

Dan ironosnya, ketika seumua agama, yang oleh masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi sakral ternyata dalam perjalanan sejarahnya, sering terlibat sekandal hubungan konflik antara satu sama lain. Tiga agama sekandung Yahudi, Nasrani dan Islam yang berasal dari satu sulbi Ibrahim telah menodai lukisan–lukisan sejarah perkembangn hubungannya dengan tetesan darah para martir dan suhada di masing-masing pihak.[6]

Pada kondisi diatas kita sebagai umat dari salah satu agama tersebut ikut prihatin dan seharusnya kita mempunyai tanggung jawab terhadap persoalan diatas terlepas dari sunatullah yang telah diberikan kepada manusia untuk tidak menjadi satu umat[7] tentu kita tetap saling menghormati dan menciptakan kedamaian karena kita pada dasarnya adalah khalifah[8] yang bertugas menjaga dan menciptakan kedamaian di bumi. Walaupun Menurut Abdulaziz Sachedina, penegasan akan kebenaran keselamatan yang eksklusif dipandang wajar dan merupakan suatu sarana yang diperlukan bagi suatu klompok untuk menunjukkan identitas diri dalam rangka menghadapi klaim kebenaran mutlak yang lain.[9]

Sebagai orang muslim tentunya selalu berbuat baik dan menciptakan perdaaian karena ini menjadi salah satu syaratnya, menurut Nur Kholik Ridwan orang yang disebut muslim, mengikuti Ibrahim, atau agama yang diperintahkan Tuhan pada manusia, ada dalam berbuat kebajikan pada orang-orang yang tertindas untuk membelanya  syarat mutlaknya dan terdasar orang disebut muslim adalah berbuat kebajikan bahkan menjadi syarat hamba-hamba Tuhan yang tidak dikategorikan “pendusta agama oleh karena itu membebaskan yang tertindas harus dibayar oleh mereka yang mengaku beragama terutama orang muslim.[10]

Alquran sebagi kitab suci agama Islam telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia untuk memecahkan salah satu masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagaman manusia, Alquran menyebut pemeluk agama Islam sebagai “umatan wasatan”(umat yang berada ditengah-tengah)menurut Amin abdullah, jika ayat di atas dilihat dalam kontek pluralitas kehidupan keberagaman manusia seyogyanya untuk tidak “berlebih-lebihan”dalam segala hal termasuk “berlebih-lebihan dalam persoalan kehidupan keberagamaan.[11]

   Semua agama yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah agama yang pada mulanya adalah agama yang diturunkan oleh Allah dengan diutusnya rasul yang mana rasul itu bersaudara sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw yang artinya:

Di antara umat manusia, Aku lebih berhak atas Isa putra maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah bersaudara tunggal bapak, ibu mereka berbeda-beda, aka agama mereka satu.(H.R. Bukhori).

Alah telah menurunkan agama tauhid kepada manusia disertai dengan rasul pembawanya yaitu sejak Nabi Ibrahim sampai dengan Nabi Muhammad saw. Walaupun syariahnya berbeda-beda namun agama para rosul itu satu dan sama yaitu pada dasarnya mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Lailahaillallah dan perlawanan kepada penindasan dan kekerasan. Tuhan tidak memaksa kepada manusia untuk beragama.

Ibnu Taymiyah[12] dalam kitab Iqtidla Al-Shirath Al-Mustaqim menegaskan,  bahwa agama semua nabi adalah sama dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda sesuai dengan zamannya masing-masing nabi itu dan dan asal usul agama itu adalah Islam, yaitu agama pasrah kepada Tuhan itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam.

 Allah sendiri telah berjanji kepada siapa saja yang beriman kepadaNya dan hari akhir serta berbuat kebajikan semuanya akan mendapat pahala. Sebagai mana firman Allah dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat:62 sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang shabiin, siapa saja(diantara mereka ) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.[13]

            Menurut Hasbi Ash Shiddieqi dalam tafsir An Nur[14] bahwa Orang beriman yaitu segala manusia yang beriman kepada Rasuullulah dan menerima segala kebenaran yang di datangkan oleh Rasullulah dari Allah swt, orang-orang Yahudi yaitu semua orang yang memeluk agama Yahudi, yang disyariatkan oleh Nabi Musa. Orang-orang Nasrani yaitu semua mereka yang memeluk agama yang di bawa oleh Nabi Isa, atau segala mereka yang membangsakan  diri kepada Isa bin Maryam. Orang-orang Sabiin yaitu segala kaum yang mengakui keesaan Allah, akan tetapi beri’tikad juga bahwa binatang-binatang dapat memberi kekuasaan pula dan mereka mengakui sebagian dari pada nabi-nabi. Orang-orang sabiin ada yang berpendapat nama golongan yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu. Pahala yaitu kemenangan dan kebajikan dunia akhirat.

Menurut Nurchalis Madjid[15] tawakal adalah salah satu rangkaian iman, tawakal yang menurut ejaan aslinya “tawakkul”yaitu “bersandar” dan mempercayakan diri, orang yang beriman  memiliki keyakinan bahwa dia senantiasa dalam perlindungan Allah sehingga mengakibatkan rasa mantap dan percaya kepada diri sendiri, orang yang beriman adalah orang kuat hati dan jiwanya sehingga tidak gentar dalam menghadapi hidupnya dan tidak mudah putus asa.

Menurut gerakan pluralisme ayat 62 dari surat Al-Baqarah merupakan pengakuan Alquran bahwa agama Yahudi, Nasrani, dan Shabii adalah benar karena mereka mendapat janji Allah untuk memperoleh pahala, selama mereka mau beramal shalih jadi hal yang pokok bagi penganut setiap agama adalah amal shalihnya untuk memperoleh pahala dari Allah bukan karena agamanya.[16]

Ayat diatas menurut hemat penulis merupakan petunjuk bagi kita umat beragama untuk saling berlomba-lomba untuk menciptakan kedamaian dan mencari pahala dari Tuhan bukan dijadikan sebuah alasan untuk membenar salahkan agama orang lain yang terjadi pada kondisi umat beragama pada saat ini, apa bila ini yang terjadi maka konflik antar agama bahkan dalam agama yang satu akan tibul peperangan sinyalemen ini sudah terjadi di negara kita misalnya ahmadiah, amrozi cs konflik di ambon dll bahkan sudah terjadi sejak dulu baik di barat maupun di timur. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya muncul dimana-mana hingga dewasa ini dan menurut ramalan pertarungan antara dunia Islam dengan dunia Kristen akan semakin mendominasi konflik dunia global.[17]

Oleh karena itu dalam memahami ajaran agama diperlukan keterbukaan dan menurut Ahad Najib Burhani, keterbukaan hanya dapat terwujud dengan pengakuan adanya kemajemukan umat manusia atau pluralisme.[18] Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dan beraneka ragam agar mereka bekerja sama dan manusia seharusnya menghargai perbedaan dan toleran terhadap perbedaan itu dan jika ada sekelompok umat beragama atau masyarakat yang mengakui sebagai pemilik utlak kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain atas namaTuhan, aka tindakan tersebut merupakan sejenis tirani dan awal peperangan dengan Tuhan. Lagi pula Allah sendiri tidak pernah memaksakan kepada manusia untuk memeluk suatu agama sebagai mana firman Allah

Artinya: Tidak ada paksaan dala menganut agama Islam sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh, dia telah berpegang tegguh pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar maha mengetahui.[19]

Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah[20] karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan yang salah . dengan kata lain, manusia kini dianggap sudah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu dipaksa-paksa seperti seorang yang belum dewasa.

Terlepas bagaimana kondisi keaslian ajaranya  ada perubahan atau campur tangan manusia atau tidak dan ada penyipangan atau tidak dalam ajaran yang diterima oleh para rasul masing-masing  agama yaitu Yahudi, dan Kristen sekarang tentu kita sebagai salah satu dari agama yang sama-sama disebut oleh Allah sebagai umat yang sama-sama perpeluang mendapat pahala tentunya kita harus saling menghormati dan mengakui kemajemukan sesama pemeluk agama agar tercapai kedamaian yang dapat diwujudkan saling memahami ajaran masing-masing yaitu dapat ditempuh dengan jalan dialog karena menurut hemat penulis dengan menawarkan tema-tema kesamaan dalam setiap agama selain bisa menciptakan kedamain kita bisa mengingatkan apabila ada penyimpangan.

Kesimpulan

Semua umat agama Yahudi, Nasrani dan Islam semuanya akan mendapat pahala(kemenangan dan kebajikan di dunia dan akhirat) dan kedamaian dari Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat baik.

Tema-tema persamaan dan perbedaan yang ada dalam masing-masing agama dapat dijadikan tema dalam dialog antar agama. Dan Keterbukaan serta toleransi antar umat beragama sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan perdamain.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdulaziz Sachedina, dkk. Agama untuk manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

 

Ahad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membogkar Doktrin yang Membantu, Kompas, Jakarta, 2001.

 

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, 2004.

 

Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, Mataram-Minang Lintas Budaya, Yogyakarta, 2004.

 

__________, Makalah Relasional Agama-Agama dan Dialog Lintas Agama dan Budaya, 2008.

 

Departeen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, CV.Diponegoro, Bandung, 2007.

 

Hasbi Ash Shiddieqi, Tafsir Al Quranul majid “An Nur”, Juz I, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1965.

 

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998.

 

Muhammad Thalib Anggapan Semua Agama Benar Dalam Sorotan Alquran, Menara Kudus, Jogjakarta, 2003.

 

Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994.

 

Nur Kholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama, Naskah Nusantara, Yogjakarta, 2003.

 

Said Agil Husin Al munawar , Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998.

 

Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, Gama Gemilang, Semarang, 2006.

 

Yusuf Al-Qaradhawi, Kita dan Barat, Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2007.



[1] Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Studi Agama Dan Resolusi konflik tahun 2008/2009.

 

[2] Konflik ini biasanya disebabkan pemahaman terhadap interpretasi teks suci keagamaan karena masing tokoh agama terdapat perbedaan.

[3] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, Mataram-Minang Lintas Budaya, Yogyakarta, 2004, hlm. 3.

[4] Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki asing-masing pihak,lihat dalam Said Agil Husin Al munawar , Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta, hlm. 41.

[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998, hal . 276.

[6] Burhanuddin Daya, Makalah Relasional Agama-Agama dan Dialog Lintas Agama dan Budaya,hlm. 6.

[7]Al Quran Surah An-Nahl ayat 16 artinya “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kau satu umat, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.

[8] Al Quran surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya” Dan ingatlah ketika Tuhan mu Berfirman kepada malaikat “Aku hendak menciptakan kalifah di Bumi”.

[9] Abdulaziz Sachedina, dkk. Agama Untuk Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 1-2.

[10] Nur Kholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama, Naskah Nusantara, Yogyakarta, 2003, hlm. 12.

[11]Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 9.

[12] Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994,, hlm 2-3.

[13] Departeen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, CV.Diponegoro, Bandung,2007, hlm 10.

[14] Hasbi Ash Shiddieqi, Tafsir Al Quranul majid “An Nur”, Juz I, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1965, hlm, 173-176.

[15] Nurchalis Madjid, Op.cit hlm 12-16

[16] Muhammad Thalib Anggapan Semua Agama Benar Dalam Sorotan Alquran, Menara Kudus, Jogjakarta, 2003. hlm. 130,. 

[17] Burhanuddin Daya, Makalah, Op.cit, hlm.16.

[18] Ahad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membogkar Doktrin yang Membantu ,Kopas, Jakarta, 2001, hlm. 5.

[19] Alquran Surah Al Baqarah ayat .256.

[20] Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Op.cit, 1994, hlm 218.

Selamatkan Islam

SELAMATKAN ISLAM

 

Oleh : ary El Wanasaby

 

Kamis dini hari kemarin terjadi pertandingan seru final piala Eropa antara Barcelona dengan Manchester United yang pada akhirnya dimenangkan pihak Barcelona dengan skor 2 - 0. Malam itu semua orang yang mengaku dirinya bola mania pasti tidak melewatkannya. Bahkan mereka yang tadinya tidak suka pun ikut nimbrung lantaran penasaran dan terpengaruh oleh teman-temannya. Mereka (bola mania) rela begadang sampai pagi dan dengan begitu semangatnya memberi dukungan pada tim kesayangannya yang tengah berlaga di lapangan hijau. Hiruk pikuk penonton pun terdengar meriah walau tanpa disadari sikap mereka telah membuat gaduh dan menggangu hak ketenangan orang lain.

Fenomena di atas merupakan hal wajar terjadi pada masyarakat Indonesia. Virus bola memang telah merasuki semua kalangan tanpa terkecuali, tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, rakyat biasa bahkan sampai para petinggi dalam pemerintahan pun menyukai permainan dengan satu bola yang diperebutkan oleh dua kesebelasan di lapangan hijau, sepak bola. Mereka yang gandrung sepak bola tidak segan untuk mengorbankan apa saja, entah itu harta untuk taruhan, kesehatan, atau waktu mereka untuk begadang, demi mendukung tim kesayanganya untuk menjadi juara.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bisakah sikap semangat dan rela berkorban seperti itu dapat diterapkan tidak hanya pada dukungan terhadap tim kesayangan tetapi juga agama samawi yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yaitu dinul Islam? Bisakah kita mengorbankan jiwa dan raga kita sepenuhnya untuk Islam? Bisakah semangat menyebarkan Islam demi tetap tegaknya panji Islam di muka bumi ini kita kobarkan?

Kalau boleh kita analogikan kondisi Islam saat ini ibarat buih di tengah lautan. Ia bisa dengan mudahnya terombang ambing oleh arus globalisasi dan modernisasi yang semakin gencar mengikis sendi-sendi ajaran Islam. Banyak serangan dari luar dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung mencoba menggulingkan dan menghancurkan keberadaan Islam. Islam ibarat makanan di atas meja yang dari segala arah semua pihak ingin menyerbunya. Jika kondisi semacam ini tetap kita biarkan, bukan suatu hal yang mustahil jika suatu saat Islam akan lenyap dari muka bumi dan hanya tinggal namanya saja yang tertulis dalam sejarah. Sungguh ironis jika hal ini benar-benar terjadi.

Selain itu masalah intern mengenai interpretasi nilai-nilai ajaran yang beraneka ragam secara tidak langsung juga ikut andil dalam menciptakan kerapuhan dan perpecahan terhadap benteng persatuan umat Islam. Memang terjadinya perbedaan pendapat dalam setiap masalah merupakan suatu hal yang wajar. Sayangnya, dalam hal perbedaan pendapat itu mereka sering terjebak pada masalah-masalah yang sifatnya tidak substantif, hanya kulit luar Islam saja. Sementara nilai-nilai ajaran Islam yang substantif seolah kurang mendapat perhatian sehingga akhirnya hilang karena tertutup oleh paradigma dan pemahaman yang keliru. Misalnya dalam hal sholat shubuh, sampai saat ini masalah qunut masih diperdebatkan. Padahal menurut hemat saya hal itu tidak perlu lagi diperdebatkan, masih banyak masalah lain yang perlu segera kita selesaikan. Hasan al Banna mengatakan bahwa pekerjaan kita itu lebih banyak dari pada waktu yang tersedia.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang harus memperjuangkan Islam? Siapa yang harus menghidupkan kembali Islam yang tengah mati suri? Ini adalah suatu pertanyaan retoris yang seharusnya tidak perlu diutarakan. Tetapi kadang masih diperlukan karena pikiran kita mungkin sudah terlalu jauh mencoba menggapai dan memikirkan sesuatu yang tinggi melebihi batas kemampuan akal manusia sehingga pertanyaan sederhana seperti ini pun terlupakan dan perlu diutarakan.

Setiap muslim di dunia ini wajib memperjuangkan dan mempertahankan Islam sebagai agamanya. Sebenarnya kurang pantas jika dikatakan kewajiban, semangat memperjuangkan Islam seharusnya tumbuh dari kesadaran seorang muslim sendiri. Kita yang kesehariannya selalu berkecimpung dengan nilai-nilai ajaran Islam tentunya memiliki keterikatan kuat dengan Islam. Sehingga dari situ timbullah rasa memiliki terhadap Islam itu sendiri. Oleh karena itu kita seharusnya marah jika harga diri Islam diinjak-injak. Kita seharusnya tidak tinggal diam jika Islam dikambing hitamkan oleh mereka-mereka yang notabene amat membenci Islam. Tetapi sikap kita malah sebaliknya, acuh tak acuh.

Memperjuangkan Islam bukan berarti beramai-ramai ke medan pertempuran melakukan pertumpahan darah. Atau melakukan bom bunuh diri seperti yang sering kita lihat di televisi-televisi. Nah, di sinilah kata “memperjuangkan” itu sering disalah artikan. Sebenarnya tidak setiap perjuangan itu selalu berkorelasi dengan peperangan dan perkelahian. Istilahnya “musuh jangan dicari ketemu jangan lari”, itulah konsep dalam Islam yang sesuai dengan Al Quran yang rahmatan lil `alamiin. Islam tidak mengajarkan mencari musuh, tetapi bila musuh menyerang maka Islam tidak boleh melarikan diri. Sikap defensif (bertahan) dalam Islam ini sebagai bukti bahwa Islam itu agama yang cinta damai, tidak suka kekerasan, jauh sekali dari tuduhan bahwa Islam adalah agama teroris. Mungkin mereka mengatakan demikian karena tidak mengetahui konsep Islam secara hakiki. Hal itu bisa kita dimaklumi.

 

Mengingat perjuangan Rasulullah

Islam lahir ke dunia ini mendapat sambutan yang sangat tidak menyenangkan. Berbagai tekanan dan ancaman dari kaum kafir Quraisy berusaha melenyapkan keberadaan Islam. Ajaibnya, yang terjadi malah sebaliknya. Islam ibarat jamur di musim hujan, tumbuh dan berkembang dengan cepat dan memiliki banyak pengikut. Saat ini Islam telah menjadi agama terbesar di dunia dan keberuntungan bagi kita karena telah menjadi  salah satu bagian dari sekian banyak pengikutnya itu.

Nabi Muhammad sebagai perintis sekaligus penyebar ajaran Islam sudah sepantasnya menjadi satu-satunya sosok sentral keteladanan bagi kita umatnya. Beliaulah guru bagi kita semua, sosok yang memiliki kesempurnaan akhlak tiada tandingannya. Orang kulon mengatakan “The man who never was”, tidak ada sosok manusia seperti itu selain Rasulullah SAW. Disebutkan dalam Al Quran QS At Taubah ayat 128 : Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” Dan dalam QS. Al Qalam ayat 4 : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Dan karena dengan akhlaknya yang mulia itu pulalah Islam sebagai agama yang dipeloporinya mampu merebut hati para pengikutnya. Bahkan Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai urutan pertama dalam daftar Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia.

Tetapi dibalik itu semua perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan dan mengajarkan Islam tidaklah mudah. Banyak aral rintangan terutama yang datang dari para penguasa Mekah yang menganggap Nabi Muhammad SAW orang berbahaya dan hanya bikin onar (trouble maker). Melihat Islam semakin besar, lalu bujuk rayu pun dilancarkan oleh mereka. Nabi Muhammad diiming-imingi harta melimpah ruah serta kedudukan terhormat dengan syarat beliau berhenti menyiarkan ajaran Islam. Lalu apa jawaban beliau? Apakah beliau menerimanya? Beliau sama sekali tidak tertarik dengan iming-iming itu. Ia menolak dengan tegas. Bahkan jika matahari dan bulan ditaruh di kedua tangannya, ia tetap tidak akan meninggalkan agama Islam. Betapa teguh pendirian beliau dan betapa hebat pembelaannya terhadap Islam.

Kita patut bersyukur karena bisa menikmati manisnya Islam tanpa harus terlebih dahulu merasakan pahit getirnya perjuangan mempertahankan Islam. Seandainya saja Rasulullah menerima tawaran kaum kafir Quraisy mungkin Islam tidak akan pernah ada di dunia ini dan kita tidak bisa merasakan ajaran Islam yang rahmatan lil`alamiin itu.

Lalu yang menjadi PR untuk kita adalah bagaimana menjadikan Islam tetap eksis dan keberadaannya tetap dibutuhkan oleh semua manusia di muka bumi ini. Dengan semangat Islam, hal itu dapat dilakukan dengan mendekatkan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sikap dan perilaku kita sehari-hari. Dengan begitu Islam sekedar dogma, hanya hubungan vertikal makhluk dengan Tuhannya, tetapi juga horisontal hubungan manusia dengan manusia lain, sehingga dapat dikatakan ajaran Islam benar-benar mampu mewujud ke dalam perilaku sosial manusia sebagaimana yang diajarkan dalam Al Quran.

Semangat memperjuangkan dan memelihara Islam secara konkret dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya dengan menghidupkan kembali ruh-ruh agama Islam, seperti mengadakan pengajian-pengajian, diskusi ke Islaman, mempelajari agama Islam dan mengamalkannya, menghidupkan masjid, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya berorientasi pada Islam (Islam oriented). Dengan begitu haapannya Islam akan tetap eksis dan sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia di jagat raya ini. Amin ya rabbal `alamiin.

Ramadhan Sebagai Madrasah Rabbaniyah

Ramadahan sebagai Madarasah Rabbaniyyah

 

Oleh : Khoirul Anwar

 

Saat masih kecil seringkali kita dinasehati oleh orang tua atau guru ngaji kita bahwa puasa Ramadhan merupakan bentuk empati kita terhadap kaum papa yang kehidupan sehari-harinya memang serba kekurangan, baik hal makan maupun kebutuhan hidup yang lain. Sehingga kita disuruh untuk berpuasa agar bisa ikut merasakan bagaimana menjalani kehidupan yang serba kekurangan tersebut. Penjelasan dari orang tua  maupun dari guru ngaji kita perlu di koreksi ulang, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka yang telah menuntun kita ke jalan spiritualitas, dengan beberapa pertanyaan. Jika puasa Ramadhan merupakan bentuk empati kita, mengapa puasa harus dilakukan dalam bulan Ramadhan dan cuma satu bulan dalam satu tahun? Selain itu mengapa kita juga dilarang makan minum mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, bukankah orang-orang miskin makannya bisa sewaktu-waktu yang penting ada makanan untuk dimakan, terus kita juga dilarang berkata kotor dan melakukan “saresmi”, bersenggama, diwaktu siangnya dan hal-hal yang tercela lainnya? Bukankah orang-orang miskin juga melakukan hubungan suami istri dan tak jarang dari mereka juga berkata kotor?

Apa rahasia Allah mewajibkan umat beriman untuk melakukan puasa Ramadhan tanpa pandang bulu baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin asal memenuhi syarat maka ia wajib berpuasa. Jika berhalangan maka “wajib” mengganti pada bulan-bulan lainnya, kalau memang tidak sanggup melakukan puasa maka wajib membayar fidyah, memberi makan pada orang miskin yang melakukan puasa. Begitu gencar Allah memburu kita dengan amal-amal kebaikan di bulan suci tersebut sehingga sangat naïf jika puasa hanya didedikasikan kepada kaum papa. Bukankah mereka juga diwajibkan berpuasa? Lalu apa dong rahasianya?

Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa semua amal ibadah anak Adam akan dilipatkan gandakan menjadi sepuluh kalinya, bahkan sampai tujuh ratus kalinya, kecuali puasa. Hak Allah-lah yang pantas membalasnya dan hanya Dia-lah yang tahu seberapa besar balasan itu. Alasan Allah yang hanya berhak membalas pahala orang berpuasa karena orang tersebut meninggalkan syahwat dan makan minum karena Allah bukan karena surga maupun takut neraka mereka juga tidak merindukan belaian kasih bidadari-bidadari surga, satu tujuan mereka yakni kasih dan ridlonya Allah.

Selain itu, dipilihnya bulan ramadhan sebagai “bulan puasa” karena pada saat bulan Ramadhan inilah peristiwa agung terjadi, yakni diturunkannya al-Qur’an (nuzulul Qur’an). Al-Qur’an merupakan mukjizat, kitab suci, petunjuk sekaligus miniature peristiwa yang telah maupun yang akan terjadi terhadap alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah,”…bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”.

Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan pilihan, bulan yang dikeramatkan (di muliakan) karena pada setiap waktunya mengandung barakah, jika diibaratkan  dengan kemajuan teknolgi-informasi sekarang ini, bulan Ramadhan merupakan daerah yang padat dengan sinyal-sinyal komunikasi sehingga untuk melakukan komunikasi begitu jelas, tidak terputus-putus. Dengan demikian, bulan Ramadhan merupakan bulan yang cocok untuk melakukan komunikasi (bermuajahah) dengan Allah, karena sepanjang bulan itu (baik siang maupun malamnya) Allah membuka lebar pintu rahmat-Nya. Serta disediakan jalur khusus untuk menggapai kenikmatan, jalur ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang melakukan puasa, jalur tersebut di kenal dengan “ar-Rayyan”.

Meskipun disepanjang waktunya, Allah telah menyebarkan rahmat-Nya akan tetapi Allah masih memberikan hari-hari yang penuh berkah, hari tersebut biasa disebut dengan “lailatul qodar”. Menurut Sa’id bin Mansar-mengutip mujahid-bahwa malam itu (lailatul qodar) adalah malam keselamatan. Syetan tidak akan mampu melakukan keburukan di dalamnya, atau melakukan suatu tipu daya. Sementara Qotada berkata, ”(pada malam itu) perkara-perkara kehidupan ditetapkan, ajal dan rizeki diputuskan, sebagaimana firman-Nya, “pada malam itu di jelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. ( ad-Dukhan: 4).

Itulah alasannya, mengapa Allah memilih bulan ramadhan sebagai bulan untuk melaksanakan puasa. Puasa Ramadhan bukanlah puasa seperti yang dilakukan oleh masyarakat jawa yang dikenal dengan “puasa tirakatan”. Meskipun sama-sama melakukan puasa tetapi banyak perbedaannya antara lain: puasa “ kejawen” ( untuk memudahkan penyebutan bagi penulis) aturannya biasanya dibuat sendiri sehingga puasanya itu banyak macamnya seperti puasa “ngrowot”, puasa “mutih”, puasa “ngebleng”, puasa “pati geni”, dan lain sebagainya. Sedangkan puasa Ramadhan syarat dan ketentuan telah ditetapkan oleh Allah, meskipun keduanya mempunyai persamaan dalam hal tujuan, yakni memperoleh ridlo Illahi.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang cocok untuk dijadikan “madrasah rabbaniyyah”. Madrasah ini merupakan institusi khusus yang Allah berikan kapada manusia agar dalam kehidupannya mencapai kesatuan karsa dengan sang Kholik (wihdatul irodah). Wihdatul irodah adalah sarana untuk menggapai kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan “ wihdatul irodah” sudah barang tentu jika perbuatan kita selalu bersesuaian dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini sudah tercantumkan dalam al-Qur’an dan As-sunah. Dalam al-Qur’an Allah selalu menyeru kepada hambanya agar senantiasa melakukakan “wihdatul irodah”, seperti dalam surat al-Baqoroh ayat 183. dalam ayat tersebut dipaparkan bahwa wihadatul irodah bisa ditempuh dengan ibadah puasa.

Dalam mewujudkan wihdatul irodah ini, Tuhan senantiasa siap membantu orang-orang yang bersungguh-sungguh berusaha ke arah itu. Menurut Sukamto dan A. Dardiri Hasyim dalam bukunya “Nafsiologi”, menuliskan bahwa wihdatul irodah bukanlah kondisi nafsiologi yang diraih melalui renungan. Namun hal itu merupakan bentuk refleksi dari suatu pengorbanan (pendekatan) lewat potensi dan aktualita dalam suatu sistem nilai. Apa yang dicintai oleh Tuhan, kita menyatu dengan kepada irodah-Nya. Dan apapun yang dibenci oleh Tuhan, kita harus menyatu pula pada iradah-Nya. Kita sebagai hamba–Nya banyak kelemahan yang kita miliki, sering keliru dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan Tuhan. Pernyataan mereka, Sukamto dan A.Dardiri Hasyim, senada dengan ungkapan Syeh Abdul Husein Ahmad bin Muhammad An-Nuri tetapi beliau mendefinisikan “wihdatul irodah” sebagai bentuk konkrit dalam ajaran tasawuf. Karena tasawuf bukanlah suatu bentuk ilmu, tetapi moral. Karena tasawuf merupakan bentuk tentu dapat dicapai dengan perjuangan. Begitu pula bila tasawuf itu merupakan suatu ilmu tentu dapat dicapai lewat cara menuntutnya. Namun tasawuf adalah berakhlak kepada Allah dan akhlak Ilahi tak bisa dicapai dengan ilmu dan gambaran.

Madarasah rabbaniyyah adalah wahana penyucian jiwa. Kesucian jiwa merupakan syarat mutlak untuk bisa menjalin hubungan dengan Allah. Sesuai dengan Dzat-Nya, “Yang Maha Suci”. Maka untuk mendekatinya sudah barang tentu keadaan manusia haruslah suci lahir dan batin. Bukankah Allah menyukai orang-orang yang suci dan bertaubat? Selain itu orang yang menyucikan diri dan jiwanya oleh Allah di golongkan sebagai orang yang beruntung sedangkan orang yang mengotori jiwanya termasuk orang-orang yang merugi ( Q.S as-Syam: 9-10).

Penyucian jiwa merupakan langkah pertama seseorang untuk mewujudkan puncak ketauhidan. Tanpa penyucian jiwa, iman sulit mengakar dalam hati. Jiwa yang kotor merupakan hijab, penghalang, antara manusia dengan Tuhan, sehingga Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai debu yang mengotori cermin. Hati ibaratnya sebuah cermin sedangkan debu adalah dosa. Jika debu tidak dibersihkan tentunya akan mengganggu fungsi cermin sebagai alat bercermin. Begitu juga hati jika tak segera dibersihkan dari dosa-dosa maka fungsi hati juga akan terganggu.

Puasa Ramadan merupakan riyadlah ( latihan) untuk membuka serta melunakkan hati manusia supaya mudah menangkap spirit ketuhanan. Jika manusia yang sudah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji , segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat ikhlas.

Puncak dari Madarasah Robbaniyyah yaitu wihdatul irodah dengan Allah. Wihdatul irodah dalam bahasa populernya adalah ”taqwa”. Orang yang melakukan serangkain amalan–amalan bulan Ramadan tak lain bertujuan mencapai derajat ketaqwaan. semua itu merupakan sebagaian dari kurikulum yang ditawarkan dari madrasah Ramadhan, maka dari itu marilah kita mencoba menyerap hikmah yang dicurahkan Allah. Semoga kita sukses menempuh pelajarannya.

 

Pribadi Muslim Ideal

Menjadi Pribadi Muslim Ideal

 

Oleh : Farid Naya

 

                Judul di atas tidak hanya merupakan dambaan satu-dua muslim, melainkan menjadi dambaan hidup setiap orang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim. Namun persoalannya adalah bagaimana kiat-kiat untuk mewujudkan impian maupun dambaan hidup di atas? Melalui tulisan inilah penulis mencoba menjelaskannya.

                Dalam al-Qur’an, banyak sekali dijumpai sekumpulan ayat-ayat yang memberikan petunjuk kepada kita tentang kepribadian muslim yang harus diwujudkan dalam pribadi kita masing-masing selaku hamba Allah Yang Maha Pengasih. Salah satu di antara ayat-ayat itu adalah surat al-Furqaan ayat 63-68. Kepribadian  muslim ideal yang diterangkan dalam surat ini adalah sifat yang luhur dan mulia, sehingga Allah sendiri menyebut orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut dengan sebutan “Ibaadur Rahman” (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih).  Adapun Redaksi ayat 63-68 dari surat al-Furqan adalah sebagai berikut:

وعباد الرحمان الذين يمشون على الاْرض هونا واذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما واللذ ين يبيتون لربهم سجدا وقياما و الذ ين يقولون ربنا اصرف عنا عذاب جهنم ان عذابها كان غراما انها ساءت مستقرا ومقاما والذين اذا اْنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما والذين لا يدعون مع الله الها اخر ولا يقتلون النفس التي حرم الله الا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذالك يلق اْثاما يضاعف له العذاب يوم القيامة ويخلد فيه مهانا .                                           

“Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Dan orang-orang yang yang di waktu malam bersujud dan berdiri karena Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata (berdo’a) Ya Tuhan Kami, jauhkan adzab jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian itu. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan)  yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat  (pembalasan) dosanya.”  (QS. (25) al-Furqan: 63-68).

                Firman Allah di atas secara jelas memberikan kita pelajaran yang sangat penting, guna menghiasi diri dan pribadi kita dengan sifat-sifat, sikap dan perilaku yang menunjukan tata kesopanan dan keluhuran budi pekerti atau akhlak yang mulia sebagai hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih atau Ibaadur Rahmaan. Adapun ciri yang pertama dari Ibaadur Rahmaan adalah mereka yang apabila berjalan dan menampilkan diri di tengah-tengah masyarakat selalu berpenampilan yang simpatik, tidak sombong dan angkuh. Merek berjlan dengan penuh tawadhu’ dan dengan langkah yang tertur serta tidak dibuat-buat yang dapat menimbulkan kesan menarik perhatian orang lain. Ciri atau sikap yang pertama ini sejalan dengan firman Allah yang lain, yang menjelaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang bersifat sombong lagi membangga-banggakan diri. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

ولا تصعر خدك للناس ولا تمش في الاْرض مرحا ان الله لا يحب كل مختال فخور  واقصد في مشيك و اغضض من صوتك ان اْنكر الاْصوات لصوت الحمير                                                                                           

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi  dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu di dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruknya suara adalah suara keledai.” (QS. Luqman: 18-19).

Dalam surat al-Israa’ ayat 37 juga disebut sebagai berikut:

ولا تمش في الاْرض مرحا انك لن تخرق الاْرض ولن تبلغ الجبال طولا                                                      

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”

Kedua, adalah tata cara kesopanan dalam berbicara dan berkomunkasi dengan orang lain, terutama ketika kita berhadapan langsung dengan orang-orang yang kurang ilmu pendidikannya atau pun lebih rendah derajatnya dari kita. Dalam hal ini hendaknya kita menunjukan adab atau etika yang baik dan terpuji. Dengan kata lain bahwa bagaimana kita menghadapi orang lain dengan tampilan wajah yang cerah dan simpatik serta membalas ucapannya dengan kata-kata yang mengandung kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan. Dengan demikian akan menimbulkan kesan pada lawan bicara kita  bahwa dirinya diperlakukan secara terhormat dan sekaligus membuat kita dihormati dan menjadi ketauladanan baginya. Sikap atau cara bergaul seperti ini telah diajarkan oleh Rasulullah Saw melalui sabdanya, yaitu:

اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحها وخالق الناس بخلق حسن                                          

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk, dan pergaulilah manusia (orang lain) dengan budi pekerti yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Selain itu, dalam firman Allah yang lain juga disebutkan:

ولا تستوى الحسنة و لا السيئة ادفع با لتي هي اْحسن فاءذا الذي بينك وبينه عداوة كاْنه ولي حميم وما يلقاها الا الذين صبروا وما يلقاها الا ذو حظ عظيم .                                                                                                

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan di antara dia ada permusushan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Sifat-sifat yang baik itu) tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang  yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. (41) Fushshilat : 34-35).

Sedangkan ciri yang ketiga, selalu mempergunakan kesempatan di waktu malam harinya untuk melakukan taqarrub Ilallah dengan melakukan sholat tahajjud dan sholat witir serta melakukan dzikir dan muhasabah. Cara ini dilakukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt dengan memohon ampunan dan kekuatan serta keselamatan dunia dan akhirat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seorang muslim itu hendaknya pada siang hari melakukan tugas-tugas kehidupannya dan berjuang untuk kalimat Allah. Adapun pada malam hari hendaknya mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Keempat, senantiasa mengingat akhirat atau hari hisab.Yaitu suatu hari di mana semu amal manusia akan dipertanggungjawabkan di hari itu, yang baik akan diberi pahala yang berlipat ganda, sedangkan yang buruk akan diberi ganjaran dan siksa yang pedih lagi menghinakan. Karena itu,  seorang muslim tidak boleh lalai dalam memohon kepada Allah agar dijauhkan dari adzab api neraka jahannam. Berdo’a kepada Allah pada hakikatnya adalah ibadah. Karena itu do’a merupakan amalan yang wajib dilakukan setiap muslim. Seseorang yang enggan dan tidak pernah berdo’a kepada Allah niscaya tidak akan memperoleh ridha dan ampunan Allah swt. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:

وقال ربكم ادعوني اْستجب لكم ان الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين .                                

“Dan Tuhanmu berfirman: berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina-dina.” (QS. Al-Mu’min (40): 60).

Ciri yang kelima, membelanjakan rezeki yang dianugerahkan Allah dengan melakukan perbelanjaan secara hemat dan sederhana, yakni tidak boros dan tidak kikir atau bakhil, melainkan senantiasa membelanjakan harta di tengah-tengah yang demikian itu. Sikap hidup sederhana ini adalah sifat yang diridhai Allah. Sedangkan kebalikannya, perilaku hidup yang berlebih-lebihan itu sangat dimurkai Allah. Bahkan orang yang melakukannya disebut sebagai saudara setan. Hal ini terlihat dari penjelasan ayat berikut ini:

وات ذالقربى حقه والمسكين وابن السبيل ولا تبذر تبذيرا ان لمبذرين كانوا اخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا.                                                                                                                                     

 “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang orang  yang dalam perjalanan , dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudaranya setan, dan adalah setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Israa’ (17): 26-27).

Namun sebaliknya, Allah pun melarang kita untuk berlaku kikir dan enggan mengeluarkan harta pada saat-saat dibutuhkan, seperti untuk keperluan belanja dan kebutuhan sehari-hari, untuk kepentingan umat atau masyarakat umum, untuk menanggulangi bahaya kelaparan dan sebagainya. Di lain itu, Allah swt mewajibkan kita mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah, yang bertujuan agar harta itu dapat difungsikan sebagiannya untuk keperluan Fi Sabilillah dan untuk kepentingan masyarakat.

Keenam adalah selalu menjaga dan memelihara ibadahnya, semata-mata hanya karena Allah, bukan pada selainnya. Selain itu, seorang muslim tidak melakukan penganiayaan apalagi menghilangkan nyawa orang lain yang tidak dibenar secara hukum, demikian juga tidak melakukan perbuatan asusila. Mengingat semua perbuatan-perbuatan itu adalah termasuk dosa besar yang sudah barang tentu ada balasannya berupa sikaan (adzab) yang berlipat ganda di akhirat kelak.

                Demikianlah penjelasan kesembilan sifat Ibaadur Rahman (Hamba-hamba  AllahYang Maha Pengasih). Akhirnya uraian singkat ini mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua, khususnya dalam menjadikan diri kita semua sebagai  pribadi muslim yang ideal, yang tidak hanya memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi diri kita pribadi, melainkan juga keluarga maupun lingkungan yang lebih luas, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Wallahu A’lam bishshowab


Pemilu 2009

Pemilu 2009

Menuju masyarakat madani atau medeni?*

 

Suasana pesta demokrasi mulai terasa, di sana-sini mulai terlihat geliatnya. Di pinggir-pingir jalan mulai tumbuh subur berbagai baliho, spanduk dari para caleg dan partai kontestan pemilu. Di TV, para pejabat mulai terlihat sibuk kesana-kemari menjalin hubungan, menebar pesona, terhadap masyarakat. Sibuk menjalin koalisi dengan partai lain. Sibuk mengatur jadwal cuti agar tidak terjadi kejumbuhan antara tugas kemasyarakatan dengan kepentingan partai, meskipun telah sering kali antara tugas kemasyarakatan memang rutin tebengkalai walau tak ada pemilu. Ini adalah wajar dalam atmosfir pemilu yang notabenenya berujung pada penggalangan simpatisan. Sungguh, sebuah kegiatan yang menyedot berjuta hingga bermilyar joule energi dan sumber kalori yang harus dipersiapkan untuk menggerakan mesin pesta demokrasi tahun ini.

Pemilu 2009 bukanlah kegiatan parsial, kegiatan yang hanya menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan, tetapi kegiatan yang bersifat integral: kegiatan yang menyatukan dan membawa kembali kepada keadaan kesejatian kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana di dalamnya tidak hanya manusia saja yang hidup melainkan makhluk Allah yang lain juga ikut serta hidup di dalamnya. Sehingga, kalaupun ada kesempatan dan seandainya bisa, makhluk-makluk yang lain ini mempunyai hak untuk memilih "manusia pilihan" yang kelak dijadikan pemimpinnya.

Sejatinya, kalau kita jujur dan sadar, pemilu bukanlah sekedar memilih manusia kemudian dijadikan pemimpin manusia pula. Memilih pemimpin berarti memilih "kholifah" yang memimpin "bumi lokalnya" dimana masyarakat itu berpijak. Selama ini, kita hanya sadar dan tak mau beranjak kekesadaran yang lain, pemimpin kita pilih hanya untuk mewakili kepentingan pribadi kita sebagai manusia, meskipun kita sendiri tak pernah utuh menjadi manusia. Tak ayal buah sikap kita ini berbuah terhadap bencana-bencana yang sekarang sering nongol di bumi pertiwi ini. Degradasi lingkungan serta pendistorsian sifat kemakhukan makhluk lain adalah gambaran bagaimana ego kita mendominasi dalam setiap kegiatan kita, tak luput pemilu. Memilih pemimpin yang hanya untuk mewakili manusia berarti mempersiapkan diri kita, tanah air kita untuk menerima berbagai celaan, untuk tidak mengatakan azab, dari Allah. Allah sendiri mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah selain untuk berbakti kepada-Nya juga untuk memimpin, mengelola bumi, 'khlolifatul fil ardhi", yakni memimpin batu, gunung samudera, hewan, udara, maupun isi alam semesta yang lain untuk dibawa menuju titik "roji'un", menyembah kepada Allah, kembali kepada cinta dan kekuasaan-Nya.

Menjadi pemimpin berarti menjadi "hamengku buwono". "Hamengku" bukanlah berarti menguasai. "Hamengku" berasal dari kata "pangku, mangku" yang dalam bahasa jawanya lebih terkesan sebagai suatu keharmonisan, rasa memiliki, mencintai dan mendidik yang di “pangku”. Jika seorang ibu "memangku" anaknya maka akan terjalin komunikasi, kasih sayang, lagu timang-timang yang di lantunkan  dari "pemangku" terhadap yang di pangku dengan tujuan menanamkan rasa tentram yang tidak hanya mengena pada kondisi fisik semata melainkan juga menembus ke relung psikologis dan  spiritual "sang anak". Demikian halnya dengan "pemimpin" dia harus "memangku", bukan menguasai, kekuasaan lokalnya, sehingga ada "komunikasi mesra" antara pemangku dengan yang di pangku. Harus dingat pula, bahwa memangku bukanlah sekedar menyediakan diri kita sebagai alas tempat" bokong/pantat bocah", bokong yang mengenai diri kita hanyalah mewakili keseluruhan dari raga, akan tetapi hakikatnya memangku adalah "ngemong" dari keseluruhan diri, nafs dan ruh, seseorang. Memimpin juga  "ngemong" jiwa dan raga rakyat serta mengasuh makhluk lainya. Dengan konsep " hamengku" diharapkan proses pemilu mampu membawa masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani, setidaknya begitu.

Prof. Dr. Maqvib Al Attas'mujtama' madani menuliskan bahwa "madani" mempunyai dua arti. Pertama, masyarakat kota, karena madani adalah adopsi dari kata bahasa arab, madinah berarti kota. Kedua, masyarakat yang beradaban, karena madani adalah juga merupakan adopsi dari kata arab "tamaddun" atau madinah yang berarti: peradaban, dalam bahasa Inggris dikenal dengan civillity/civilitation.

Di Indonesi, istilah masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil society (tanpa penerjemahan).

Konsep dan pengejawantahan (direalisasikan) masyarakat madani pertama kali oleh Nabi muhammmad saw. Nabi telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang baradaban (ber-madaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tidak kenal hukum dan terhadap supremasi kekuasan pribadi seorang penguasa.

Hasilnya berupa suatu tatanan sosial-politik yang menurut Robert N. Bellah sangat modern. Bahkan, ia mengatakan terlalu modern untuk saat itu sehingga orang Arab, di mulai Muawiyyah, meniggalkan pelaksanaan penuh tatanan Islam itu dan kembali ketatanan pra-Islam. Segi-segi modernitas Madinah itu, menurut Bellah, adalah tingkat komitmen yang tinggi, keterlibatan dan partisipasi dari seluruh posisi kepemimpinan terhadap ukuran kecakapan pribadi. Hal ini akan dinilai berdasarkan pertimbangan yang bersifat universal dan dilambangkan dalam percobaan, untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. Karena itu, kata Bellah lebih lanjut, Madinah merupakan suatu model bangunan masyarakat nasional modern yang lebih baik dari yang telah diimajinasikan, dan menjadi contoh sebenarnya bagi nasionalisme partisipatoris yang egaliter.

Tantangan masa depan demokrasi di negeri kita ialah bagaimana mendorong berlangsungnya proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan nilai-nilai madani itu. Dengan kata lain, tantangannya ialah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat madaniyah atau keadaban benar-benar menjadi pandangan hidup (way of life) dalam kehidupan sehari-hari.

 

Pemilu 2009 menuju masyarakat madani?

Proses pemilu yang merupakan salah satu bagian dari demokrasi, sebagai bagian dari musyawarah (bahasa Arab: musyawarah, dengan arti saling memberi isyarat), harus dimaknai sebagai keinsyafan makna dan semangat musyawarah menghendaki atau mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasaan untuk tulus menerima kemungkinan kompromi, atau bahkan kalah suara. Semangat musyawarah menuntut kesediaan para pesertanya untuk menerima kemungkinan terjadinya partial functioning of ideals, yaitu prinsip bahwa dalam demokrasi belum tentu, dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran kita akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Salah satu chek list semangat ini ialah sebarapa jauh kita mampu mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih baik.

Kasus-kasus seputar sebelum dan sesudah pemilu yang telah, dan akan, berjalan sebenarnya membuat kita ragu akan cita-cita mulia pemilu. Kerusahan dalam kampanye, kecurangan proses pengambilan suara hanya membuat kita ketar-ketir terhadap kelangsungan hidup berkebangsaan. Meskipun terlalu kita sering menyaksikan ikrar kampanye damai, siap menang siap kalah, tetapi semua itu hanya perilaku di bibir saja. Sikap ketidakdewasaan kita ternyata lebih dominan dibanding kedewasaan kita. Kekalahan memang pil pahit yang harus siap ditelan semua pihak yang kalah dalam proses demokrasi. Oposisi  memang perlu guna mengontrol pemerintahan, tetapi makna oposisi yag kita tangkap selama ini hanyalah sebuah ketidaksetujuan yang membuta, sebuah kekecewaan akibat dirinya, partainya kalah. Kalu sikap ini terus tertanam dalam kehidupan politik kita maka jangan terlalu berharap banyak mengenai kehidupan masyarakat madani.

Kerjasama dan sikap antar warga masyarakat yang saling mempercayai itikad baik masing-masing, diiringi jalinan dukung-mendukung secara fungsional antar berbagai unsur kelembagan kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang efisien untuk demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dan masing-masing penuh curiga kepada yang lainya tidak saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus pada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban bagi semua dan tingkah laku penuh percaya kepada itikad baik orang dan kelompok lain, mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusian yang positif dan optimis. Pandangan kemanusian yang negatif dan pesimis akan sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang kemudian berujung pada keengganan bekerja sama.

Sifat pemaaf dan toleransi serta kemauan akan bekerjasama merupakan syarat menuju kekehidupan masyarakat madani tanpa itu kita hanya akan sebatas membaca tulisan dan bermimpi mengenai kehidupan yang beradab. Pemilu hakikatnya mencari benang merah mengenai aspirasi masyarakat yang memang tidak bisa sama dalam segalanya tetapi mempunyai ujung cita-cita yang sama yakni berkehidupan yang tentram dan berkeadilan. Semoga pemilu 2009 memang sebagai media untuk meluruskan benang kusut cita-cita masyarakat Indonesia. Wa Allhu a'lam.

 Ahmad Saifullah. Cs. Dan Jagad Pamungkas

*Artikel ini merupakan hasil diskusi kuliah Mahasiswa Kependidikan Islam UIN SUKA serta diolah dari berbagi sumber yang mendukung.  

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Membangun Moral di Abad Global

Membangun Moral di Abad Global

 

Oleh : Jalaludin


if religion without morality lacks a solid earth to walk on, morality without religion lacks a wide heaven to breath in”.(Jika agama tanpa moralitas, kekurangan tanah untuk berjalan diatasnya, jika moralitas tanpa agama, kekurangan surga langit untuk bernafas).


Kata-kata Prof. John Oman yang di kutip oleh Dr. Faisal Ismail diatas mengajak kepada kita untuk menilik kembali terhadap pandangan kita yang selama ini kita pegang khususnya dalam hal memperbincangkan dalam kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa tak hanya di ukur melalui patokan kemajuan teknologi dan GNP-nya semata tetapi juga harus dilihat kelakuan masyarakatnya seperti yang tertulis dalam syairnya Ahmad Syangu, “sesungguhnya suatu bangsa terletak pada akhlaknya, jika akhlak mereka bejat hancurlah bangsa itu”.


Kemajuan terknologi di segala bidang memang telah mempermudah kerja manusia tetapi jika tak ada kontrol, kemajuan teknologi malah menyeret masyarakatnya kedalam berbagai jebakan krisis seperti krisis kejiwaan, krisis ekologi, krisis kejujuran dan masih banyak lagi. Dampaknya kini mulai muncul seperti kasus bunuh diri, membunuh bayi-bayi maupun gejala-gejala depresi berat yang menyelimuti masyarakat diabad global adalah tanda dari kehampaan jiwa masyarakat modern.


Di lain pihak, bahaya kerusakan alam semakin mengkhawatirkan. Tanah longsor, banjir bandang, angin ribut, gempa bumi yang akhir-akhir ini marak terjadi di tanah air menambah “kengeluan” bangsa ini.
Global warming merupakan ancaman serius bagi segenap makhluk di muka bumi. Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir suhu bumi akan meningkat 0.7 derajat celcius. Para ahli memprediksikan, jika tak ada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pada tahun 2100 suhu bumi akan meningkat hingga 0,8 derajat celcius. Padahal jika kenaikan suhu melebihi dua derajat celcius maka akan terjadi kepunahan banyak spesies dan ekosistem. Salah satu penyebab terjadi perubahan iklim global di Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan serta semakin rusaknya hutan akibat pembalakan liar. (Tempo, 30 april 2006)


Semua fenomena di atas semakin meyakinkan akan kebenaran firman Tuhan bahwa ’Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia ”(Q.S Ar-Rum: 41). Kalu kita cermati dengan seksama dari pengalaman hidup maupun yang kita kaji dari Al Qur’an, bahwa kerusakan alam merupakan akibat kerakusan manusia yang tak arif dalam mengeksploitasi kekayan alam.
Kerakusan adalah urusan moral yang tersimpan dalam sanubari masing-masing orang. Moral yang menjabat “chek and balance” telah mengalami kemerosotan yang menyebabkan penodaan terhadap harkat kemanusiaan (human dignity) sehingga pemiliknya terperosok sebagai budak penyembah nafsu.Walau kita tahu bahwa abad ini adalah abadnya orang-orang pintar tetapi kehidupanya jauh dari tanda-tanda orang berilmu. Mengapa demikian? Allah menjawabnya ,”Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Allah memberi sesat dengan ilmumya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas kepalanya itu. (Q.S AL Jatsiyah:23)

 

Sebab utama merosotnya moral adalah hilangnya keyakinan (iman) terhadap Tuhan, hari akhir dan balasan surga-neraka. Agama yang telah di berikan Tuhan sebagai pembimbing di tinggalkan begitu saja, sehingga norma-norma yang mengatur perilaku manusia dilupakan. Dosa telah dianggap ringan dan hal yang biasa, Tuhan hanyalah cerita tahayul dan dianggap sebagai sosok yang di gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil belaka. Hingga timbullah pandangan bahwa takkan ada lagi kehidupan sesudah mati, tak ada lagi balasan surga neraka, seperti yang dikatakan Klein, “dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, maka lepas pula harapan akan kenikmatan surga, orang hidup, mati, dan selesailah sudah”. Pernyatan itu di tepis Allah, “Dan mereka berkata “tak ada kehidupan lain, melainkan kehidupan di muka bumi ini. Kita mati dan hidup tidak ada yang memusnahkan melainkan waktu. Sesungguhnya mereka tidak tahu tentang hal itu, mereka hanya menduga-duga saja”.


Lalu bagaimana kita menyelamatkan moral kita yang selama ini tercecer di lembah hiruk pikuknya nafsu sekaligus mengembalikan “Tuhan” kita yang telah kita “hilangkan” tersebut? jawabannya adalah seperti yang telah di katakana Prof. Jaques Barzun, “restore god to the fullness of his reality” (kembalikan Tuahan kepada kedudukanNya yang sesungguhnya). Dengan mengacu pada ucapan Jaques berarti kita harus menghadirkan Tuhan dalam segala hal dalam menapaki proses kehidupan kita, menghadirkan hakikat Tuhan bahwa Dialah sebagai inspirasi atau patokan moral hidup.

 

Kalau memang “Tuhan” harus hadir dalam segala dimensi kehidupan ini maka salah satu jalan yang harus di tempuh adalah membentangkan agama sebagai jalan bagi kita untuk lebih dekat atau lebih mengena rasa ketuhanan kita. Mengapa harus agama yang kita pilih sebagai salah satu cara bagi kita untuk menghadirkan Tuhan atau sumber moral kita ?


Memperbincangkan masalah sumber moral yang sesuai dengan perilaku manusia sekaligus tak pernah kering adalah agama sebagai jawabannya, karena agama merupakan jalan penyampaian moral tuan yang diturunkan kepada makhluknya. Moral yang bersumber dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman sehingga agama akan tetap memposisikan “manusia sebagai manusia”.


Adalah pasti bahwa agama Islam merupakan sumber nilai-nilai moral Islam. Nilai moral dalam Islam sangat di junjung tinggi dan ditempatkan pada kursi agung. Karena moral merupakan elemen penting dalam membentuk peradaban. Nabi Muhammad di utus ke dunia tak sebatas menyampaikan risalah ketauhidan semata melainkan menyampaikan pesan-pesan moral yang hasanah. (“tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan rahmat bagi semesta alam. Aku di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia.)


Jelaslah bahwasannya misi Muhammad tidak sekedar mengajarkan ritual-ritual ibadah, do’a atau menyuruh jihad, melainkan sebuah misi yang sangat mulia yakni menghijrahkan manusia dari kesesatan menuju kebenararan, dari sifat barbarisme menuju sikap tawadhu’, dari sikap rakus menuju sikap qona’ah dan ikhlas. Menjadikan manusia kembali kefitrohnya yang di ridoi Tuhan.


Moral islam menekankan aspek penyucian hati karena pada hakekatnya hati merupakan pusat inspirasi dan motivasi akal untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan terhadap sesuatu hal yang akhirnya melahirkan suatu pandangan (persepsi). Manusia yang pandangan hidupnya tidak jelas atau mengambang maka cenderung perilakunya pun nampak amburadul dan bingung. Keyakinan yang tidak mantap akan melahirkan sosok-sosok manusia kelas rendah, munafik, pragmatis, hedonis dan sekuler. (Dr. Muhammad Tholib, Melacak kekafiran berfikir).


Hal ini pernah terjadi pada bangsa Arab saat Islam belum datang. Arab jahiliyah kebanyakan kaum pengembara Badui yang hidupnya nomaden, memiliki jiwa yang kasar, kering dari “air ketauhidan”, suka merampok, tak tahu halal haram, hanya berorientasi pada kesenangan yang sekejap sehingga Alqur’an mengatakan orang-orang ini munafik dan tak bertuhan.


Tetapi setelah Islam datang keadaan berubah, mereka menjadi santun, terbimbing kejalan yang benar dan ditinggikan kedudukannya yang semula bersifat hewaniyah kepada kedudukan yang mulia.


Itulah Islam yang lebih mengedepankan pembentukan moral di banding dengan hal lain. Karena kita tahu bahwa moral merupakan penentu ”warna” peradaban manusia. Jika bangsa yang besar, maju dalam bidang keduniaan saja tetapi moral bangsanya amburadul maka sudah dapat di pastikan bangsa itu akan segera runtuh.


  Islam di datangkan untuk memperbaiki peradaban manusia oleh karena itu Islam adalah agama peradaban dan tak menentang peradaban suatu bangsa manapun selama peradaban itu memberi manfaat kepada manusia dan mengangkat harkat, martabat manusia. Namun jika peradaban itu ternyata tak sesuai dengan fitrah manusia dan men-dehumanisasi, maka Islam akan melawan, karens Islam adalah agama perlawanan.Wa Allahua’lam.