Agama dan Resolusi Konflik
“Membangun pemahaman keagamaan dalam berbagai sektor menuju perdamaian”
(Nugroho. S.Th.I)
A. Potensi Agama Dalam Kehidupan Manusia Dalam Realita dan Fakta
Agama dan manusia sangat sulit untuk dipisahkan hal ini terlihat dalam sejarah kehidupan manusia. Agama telah diyakini oleh manusia merupakan petunjuk dalam kehidupan damai di dunia dan akhirat. Namun pada kenyataannya agama sering menjadi faktor penyebab konflik bagi kehidupan umat manusia yang beragama dan tidak mampu memberikan solusi secara tuntas semua persoalan yang dihadapi oleh manusia.
Agama mempunyai fungsi ambivalen. Satu sisi agama berfungsi sebagai social cement(Turner: 1991:ix) yang dapat merekatkan hubungan kelompok atau individu umat beragama atau masyarakat yang mempunyai latar belakang etnik, bahasa, budaya, kelas sosial ekonomi yang berbeda. Dengan kata lain agama mampu membangun solidaritas dan loyalitas yang tinggi bagi umat manusia. Dan di sisi lain, agama mampu dan sangat berpotensi menjadi faktor signifikasi bagi munculnya konflik sosial yang sangat dasyat implikasinya karena melibatkan sisi yang paling dalam pada diri manusia(Turner: 1991:ix)..
Keberagamaan kepentingan (intrest) dalam kehidupan umat manusia sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik. Jadi konflik sering terjadi dalam kehidupan umat manusia pada setiap waktu dan setiap saat. Hal ini dapat kita lihat dan kita baca dalam berbagai media baik konflik yang bersifat individu maupun kelompok masyarakat baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri misalnya masalah ambon, papua, aceh, sambas dll. Dan konflik yang terjadi sekarang antara Palestina dan Israil. Lebih-lebih jika interest ini telah dikaitkan dengan politik, fakta yang kita lihat pemimpin intitusi baik formal maupun non formal yang ada biasanya hanya kawan, keluarganya saja yang diperhatikan dan diperjuangkan sedangkan musuh politiknya disigkirkan jauh-jauh bahkan disingkirkan bahkan ditindas dan dibatasi ruang geraknya.
Sikap dan cara berfikir bagi ilmuan atau manusia yang beragama dalam mengkaji agama maka perlu adanya sikap “mencurigai” terhadap agama, ini dimaksudkan jangan-jangan justru agama adalah penyebab konflik. Menurut Prof. Amin Abdullah, pintu-pintu agama yang perlu dicurigai adalah dogma(belief) ini dimaksudkan untuk melihat kepercayaan yang ada yang diyakini apakah sudah benar atau justru berisi penyebab konflik. Ritul (perform of actifities), Texs ini dimaksukan untuk melihat apakah teks suci yang jadi pedoman umat beragama memerintahkan untuk berkonflik atau untuk melarang konflik. Invest “outhority” melihat dan meneliti bagai mana pengaruh leader dalam agama. Telling stories bagaimana cerita sejarah itu terjadi dalam konteks apa itu diberlakukan. Legitimate morality. Institusi melihat bagai mana peran institusi agama bermain dalam perdamaian atau konflik.
Tidak dapat kita sangkal bahwa agama adalah salah satu yang berpotensi sebagai sumber konflik yang ada di dunia ini berdasarkan fakta dan data dalam sejarah kehidupan manusia, lalu apa yang harus diperbuat oleh umat manusia yang beragama yang pada dasarnya mengiginkan perdamaian, apa perlu untuk membubarkan agama? Atau membuat agama baru? Apa kita perlu menyalahkan Tuhan yang telah memberikan agama ini?
B. Solusi Pemahaman Keagamaan dalam Berbagai sector Menuju Perdamaian
a. Solusi Dasar (
Agama memang mempunyai fungsi ambbivalen. Dalam satu sisi mampu menjadi alat pemersatu dan satu sisi agama berpotensi sebagai sumber kinflik, maka dalam menghadapi persoalan ini kita selaku umat yang berketuhanan dan beragama maka telah menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita untuk melakukan deskontruksi pemahaman serta rekontruksi pemahaman terhadap ajaran agama agar agama mampu hadir dihadapan kita lebih terasa harmoni. Bukan untuk dibubarkan atau menyalah
Sebagai umat beragama, teks suci adalah sumber dasar serta pedoman dalam melaksanakan segala sesuatu dalam kehidupan umat beragama sebagai mkhluk tuhan. Teks suci adalah datangnya dari Tuhan yang isinya berupa perintah dan larangan untuk menuju kehidupan yang damai dunia dan akhirat. Manusia dalam melihat teks suci menggunakan pendekatan pemahaman, penghayatan, dan pengamatan, yang erat dari sisi impresi, eksperiensi, ekspresi diantaranya berupa ide dan pemikiran, manifestasi diantaranya berupa perilaku dan gerakan dan progresi dapat berupa tatanan, hukum, perundang-undangan atau institusi-institusi.
Agama adalah “hubungan” antara mnusia dengan tuhan sebagai pencipta (creator, khalik) dan antara manusia dengan sesma ciptaan (sesame creature) yaitu antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia. Yang mana hubungan dengan tuhan berupa perilaku, hubungan manusia dengan alam berupa kesadaran, dan hubungan antara alam dengan tuhan berupa fonomena alam.
Manusia sering kali ketika akan melaksanakan hubungannya dengan tuhan lupa bahwa disitu ada hubungan dengan alam, dengan manusia yang lain. Maka dengan persoalan ini ketika manusia dalam mengintrepretasikan ajaran gama perlu kiranya memperhatikan berbagai aspek atau sisi diantaranya humanity, natural science, sosiologi, psikologi, histori dll. Banyak sekali orang beragama atau institusi agama dan pemerintah ketika mau melaksanakan atau menetapkan suatu hokum, membangun sarana untuk umat kurang memperhatikan others (women, race, etnic, non-muslim, non Kristen, clss, chaild, disable) misalnya banyak sekali gereja, masjid, vihara yang dibangun di Negara kita tidak menyediakan atau memfasilitasi kepada umatnya yang cacat. Banyaknya penggusuran yang dilakukan pemerintah dalam hal ini polisi pamong praja terhadap masyarakatnya yang membabi buta tanpa memberikan solusi yang memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan padahal mereka itulah satu-satunya tempat mereka tinggal selama hidunya. Kemudian perlakuan yang dilakukan ormas agama yang melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap orang lain seperti yang terjadi dimonas.
Institusi pendidikan perlu kiranya menanamkan kepada para siswanya dari lembaga yang palng dasar akan adanya pemahaman pluralisme dan multikulturalisme. Sehingga nantinya mereka sadar dan mengerti bahwa disekelilingnya ada berbagai macam etnis, budaya, agama dan lain-lain. Dan diharapkan dengan pendidikan yang seperti ini mereka nantinya bisa menerima dan mengakui perbedaan yang ada.
Institusi agama seharusnya ketika menetapkan hokum penting kiranya untuk mendialogkan, mengkopromikan, serta melakukan consensus terlebih dahulu sebelum menetapkan hokum, melihat dan memperhatikan bahwa kita hidup dinegara apa dan hokum apa disekitarnya juga. Misalnya kita harus melihat dan menyesuaikan dengan hokum international, budaya, agama lain, kebutuhan ketika kita ingin membuat serta menetapkan hokum dan perlu adanya equality terhadap masyarakat diluarnya (others) itu berupa kesempatan, fasilits dana dan pemberdayaan yang sama. Dalam arti kontekstualitas dalam menetapkan hukum melaksanakan perintah agama sangat urgensekali untuk menuju hidup damai agar tidak ada yang tersakiti dan merasa tersingkirkan bahkan tertindas serta kita lebih kelihatan arif tidak arogansi oleh pihak lain diluar kita. Hal inilah kiranya yang belum dilakukan oleh umat manusia dimanapun saja berada pada saat ini karena hanya interest pribadi saja yang menjadi tujuan utama.
b. Solusi Ketika Konflik Terjadi (Peace Mekeing)
Konflik tidak bisa hilang pada diri manusia namun bukan berarti konflik tidak bisa diberhentikan atau di minimalisasi. Begitujuga konflik agama, konflik atas nama agama sering terjadi baik terjadi di interen (didalam agama yang satu) dan ekstern (agama satu dengan agama yang lain misalnya Islam-Kristen). konflik muncul karena ada pihak yang merasa tertindas, terdiskriminasi, tersingkirkan, merasa kurang adanya equality sehingga mengakibatkan adanya violence.
Ketika konflik sudah terjadi yang dapat dilakukan oleh pendamai (mediator) antara lain yaitu melakukan negosiasi, dialog, kompromi, diplomasi, konsesus dan tentunya seorang mediator harus benar-benar idependent bukan memihak satu pihak saja dan tidak dalam keadaan bermasalah. Yang menjadi tujuan utamanya adalah terwujudnya perdamaian antara pihak yang bertikai dengan menghasilkan sikap reconsiliasi pihak bertikai sehingga tidak meninggalkan dendam adanya adalah menerima tanpa melupakan.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana jurusan agama dan filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar