Koalisi tanpa imajinasi
Nur khoiriyah*
Suhu perpolitikan semakin mendidih seiring dengan dekatnya waktu pilpres 7 juli mendatang. Para kandidiat calon presiden, yang notabenenya diusung oleh partai-partai yang memenangi pemilu 9 April yang lalu, semakin gencar menjalin komunikasi dengan kandidat lain, yang dianggap mempunyai potensi untuk mendulang suara terbanyak sehingga memungkinkan untuk menang. Komunikasi ini bukanlah hal yang mudah apalagi semua kandidat menginginkan menjadi orang nomor satu di negara ini. Tak ayal jika proses menjalin komunikasi ini terkesan bertele-tele dan terkesan menunjukkan sikap kengeyelan masing-masing calon presiden. Inilah sebuah perhelatan besar yang dengan prolog sungguh panjang dan menarik untuk diperbincangkan.
Koalisi merupakan hal yang wajar dalam dunia perpolitikan dan ini sudah berlangsung sudah lama. Koalisi menjadi tak wajar jika proses panjangnya itu hanya sebuah sikap kengeyelan tanpa ujung yang jelas, yang hanya disebabkan oleh pertimbangan keuntungan golongan semata bukan pertimbangan kemaslahatan bangsa.
Kalau kita mengacu pada arti koalisi yang diartikan sebagai kerjasama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen (KBBI, Departemen pendidikan dan kebudayaan, Balai Pustaka. 1997) tentulah proses koalisi yang tengah berlangsung dan bertele-tele ini menjadi wajar. Akan tetapi apakah memang demikian, bahwa koalisi dijalin bertujuan hanya untuk memperoleh suara terbanyak? Pengartian koalisi yang tertuang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesi) jelas sudah diartikan dalam kacamata politik praktis, yang artinya sudah dipolitisir dengan tujuan tertentu oleh pihak pengarti, entah pengartian tersebut merupakan sebuah pesanan oleh rezim yang berkuasa pada saat itu atauakah memang koalisi itu sendiri tak mempunyai arti sehingga orang bebas mengartikan dan menggunakan dengan tujuan sak karepe dewe. Menurut hemat penulis arti koalisi yang tertuang dalam kamus tersebut jelas tidak relevan dengan tujuan demokrasi yang tengah dibangun oleh bangsa ini. Demokrasi bagi bangsa ini dipandang sebagai satu tujuan. Pandangan demikian disebabkan karena ide demokrasi menjadi salah satu sila dalam pancasila, yang antara sila satu dengan yang lainya saling berkaitan, tak bisa di pahami sebagian-sebagian. Demokrasi yang dijadikan alat untuk membentuk satu pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Sehingga koalisi yang merupakan salah satu subsistem dari demokrasi sudah seharusnya juga mempunyai ruh dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Kenyataanya, koalisi yang tengah dibangun tidak lain hanya sekedar bagi-bagi kekuasan. Pembicaraan koalisi antar parpol menjelang pemilu presiden tidak berdasarkan platform, agenda pemerintahan, dan ideologi yang semestinya menjadi tuntunan dasar (Zainuddin Maliki. Kompas 5 mei 2009). Pembentukan koalisi tidak lain mencari tema dalam pemerintahan. Pertemanan ini bertujuan sebagai balance, penyeimbang, sebagai teman berpikir dan menjalankan pemerintahan agar permasalahan bangsa yang dihadapi bisa diselesaikan dengan baik, tanpa menambah permasalahan baru, setidaknya koalisi yang hendak dibangun haruslah mempunyai semboyannya pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah. Koalisi yang baik adalah bila koalisi tersebut bisa berjalan seiring dan seirama, layak ban mobil yang bekerja sesuai dengan peranannya masing-masing. Tetapi kita menjadi sangsi bila menyaksikan proses awal koalisi yang sekarang ini terbentuk. Terkesan koalisi sekarang ini hanya sebuah pemaksaan kehendak dari partai yang berbasis massa besar, keinginan untuk menunjukkan siapa yang hero dan terkesan koalisi dibangun bukan karena kapabiltas yang mumpuni tetapi masih menilik siapa calon tersebut, dari keturunan siapa mereka meskipun, keturunan tersebut tak sama dengan sifat leluhurnya. Inilah awal sebuah bencana jika masysrakat selalu disuguhi koalisi yang bernuansa lawakan.
Semua ini merupakan akibat matinya imajinasi dalam dunia perpolitikan. Imajinasi secara harfiah diartikan sebagai daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar-gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Imajinasi merupakan potensi yang tersimpan rapi dalam dunia lain yang bertujuan utnuk membangun masa depan yang diharapkan. Tanpa imajinasi dunia ini akan sepi dari kemajuan-kemajuan seperti sekarang ini. Demikian pula dengan dunia politik, imajinasi dalam politik diperlukan sebagai "dunia lain" yang hendak dibangun diatas kebersaman yang berdaulat.
Seperti yang ditulis oleh Yasraf A. Piliang : politik tidak saja memerlukan imajinasi, akan tetapi politik itu sendiri adalah imjainasi. Tidak ada plitik tanpa imajinasi, oleh karena politik tidak saja berkaitan dengan ruang-ruang konkret (teritorialitas) yang diatur berdasarkan geopolitik tertentu, akan tetapi juga ruang-ruang abstrak yang perlu diimijinasikan, seperti konsep abstrak tentang negara, bangsa, atau masyarakat. Konsep negara-bangsa tidak hanya konsep yang menyatukan wujud fisik konkret teritorialitas, manusia dan lingkungannya, tetapi apa yang disebut oleh Benedict Anderson sebagai komunitas yang diimajinasikan. (Yasraf A. Piliang. 2005).
Oleh karena itu, peran imajinasi di dalam sebuah masyarakat-bangsa, khususnya didalam dunia politik, sangatlah sentral, oleh karena melalui imajinasi sebuah kelompok poltik atau masyarakat pada umunya dapat melukiskan gambaran tentang dirinya. Politik selalu berkaitan dengan masa depan, dan masa depan adalah iamjinasi tentang apa yang akan terjadi. Sehingga imajinasi menjadi dasar penting dari ideologi politik sebuah kelompok politik dan masyarakat-bangsa pada umumnya.
Kematian imajinasi yang tengah melanda partai-partai koalisi saat ini akibat bercampur aduknya antara kepentingan membangun bangsa dan membangun kepentingan kelompok sehingga daya imajinasi ini terbunuh, perlahan tetapi pasti. Akibat kematian daya ini adalah terkontaminasinya kepentingan kelompok dan masyarakat semakin sulit untuk dipisahkan. Sekat-sekat yang membatasi ruang kepentingan kelompok dan golongan semakin kabur hingga akhirnya pelaku politik tanpa sadar tengah bekerja diruang yang kabur, apakah murni untuk rakyat atau golongan juga tak jelas. Semua bekerja dengan sekehendak dirinya sendiri.
Kaburnya ruang-ruang kepentingan akibat dari hegemoni imajiansi dari kekuasan yang lebih besar. Imajinasi yang dimiliki penguasa yang lebih besar inilah yang terus didiktekan imajinasinya terhadap imajinasi yang dibawahnya hingga akhirnya imajinasi yang kecil ini mengalami semacam keengganan untuk menghidupkan atau membuat kreativitas diruang imajinasinya.
Sebetulnya imajinasi yang terhegemoni ini bisa mengalahkan pengaruh imajinasi yang mendektenya asalkan ada kemauan dan pandangan bahwa imajinasi bukanlah sebuah ukuran besar-kecil akan tetapi imajinasi merupakan sebuah kekuatan, mirip titik singularitas, yang bisa diledakkan untuk meciptakan kekuatan yang lebih besar. Akhirnya koalisi yang tengah dibangun oleh elit politik bisa berjalan baik jika masing-masing mempunyai daya imajinasi yang mumpuni sekaligus tidak adanya pendiktean atas imajinasinya terhadap daya imajinasi yang lain. Jika imajinasi koalisi tetap disetir maka kerapuhan koalisi akan terulang seperti yang telah terjadi diera pemerintahan gus Dur. Apakah koalisi yang sedang dibangun ini akan kuat ataukah koalisi ini juga tak lebih dari koalisinya para artis yang gampang kawin cerai? Kita lihat saja.
Nur Khoiriyah
Mahasiswa UIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar