Senin, 19 April 2010

Tuhan, Ilmu, dan Makna Agama

Tuhan, Ilmu dan Makna Agama

 

Oleh: Nasri. K

 

 

“Maka hadapkanlah wajahnu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS.30:30)

Pada era Global, yang serba instan, pendangkalan keyakinan manusia tampak nyata di depan mata. Kemajuan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemampuan akal (rasionalitas), kepercayaan atas realitas faktual (empirisme), dan semangat eksperimentasi, telah melahirkan kemerdekaan untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

 

Dua Gejala

Setidaknya, hemat penulis, ada dua gejala besar yang bisa kita tandai dari kasus kebebasan manusia untuk lari dari Tuhan. Pertama, gejala yang tampak dari mereka yang terang-terangan tidak beriman dan tidak peduli pada Tuhan. Realitas dunia ini mereka serap dan susun hanya sekedar untuk memenuhi kemampuan dan kepentingan mereka baik sebagai konglomerat, filosof, ilmuwan, dan lain sebaginya. Inilah titik kemunculan bahwa tugas orang berakal, ilmiah, kaya dan teremansipasi, adalah meniadakan Tuhan dalam kehidupan.

Kedua, gejala itu tampak pada mereka yang mengaku beriman pada Tuhan. Namun, Tuhan telah mereka lupakan dan campakan dari lakon kehidupan sehari-hari yang mereka jalani atas dasar nafsu, kepentingan, dan keinginan untuk menjadi penguasa atas manusia lainnya. Mereka pun korupsi, berambisi pribadi menghancurkan alam, dan merusak tatanan sosial.

Dua gejala besar yang akut itu telah menjangkiti semua manusia. Termasuk orang-orang muslim yang beriman kepada Allah, yang sholat lima kali sehari, yang berhaji setiap tahun, yang rutin berzakat, dan yang begitu tampak saleh di depan publik.

Pertanyaannya, apakah dengan menyingkirkan Tuhan, mereka dan bahkan kita semua mampu memberikan “obat” untuk menyembuhkan penyakit kehidupan modern ini? Apakah saat nafsu dan kepentingan yang menjadi landasan hidup telah kita praktekkan, lantas ketakutan-ketakutan kita jadi sirna?

 

Ilmu; Kehilangan Arah

Kegalauan masyarakat bukannya berkurang, akan tetapi semakin parah. Berkat kemajuan buah pikir cemerlang teknologi dan sains lainnya, manusia semakin mudah untuk saling memusnahkan satu sama lain. Modus operandi kejahatan semakin rapi, kerusakan moral semakin tak terbendung, penindasan sesama manusia bertambah pinak (banyak; ed).

Sains dan teknologi telah kehilangan arah tujuan sebagai alat untuk memakmuran dunia. Kecanggihan teknologi hanya menjadi malapetaka bilamana para pemegangnya tak bermoral. Hal ini menunjukkan adanya sikap manusia yang mencabut roh ketuhanan. Padahal, kemajuan teknologi bila tanpa didukung nilai-nilai ketuhanan tak ubahnya seperti orang buta yang dipegangi pedang dan ngawur menggunakannya.

Ilmu pengetahuan yang semula oleh Allah diturunkan agar manusia bisa menemukan jati diri dan keberadaan Tuhan., kini malah sebaliknya. Ilmu pengtahuan yang kita miliki semakin menjauhkan diri kita dari Tuhan.

Seperti yang dikatakan TS. Elliot, semakin hari ilmu pengetahuan hanya membawa kita kepada kebodohan. Sedangkan kebodohan membawa kita semakin dekat dengan kematian. Anehnya, walaupun semakin dekat dengan kematian, mengapa kita malah bertambah jauh dari Allah.

Begitulah jika Tuhan dijauhkan dari hidup ini. Pandangan kita hanya dijejali oleh keinginan bagaimana memuaskan hawa nafsu, amibsi, materi, dan kepentingan sesaat semata. Kita pun diperbudak oleh benda-benda mati yang seharusnya kita kendalikan.

 

Hanif: Agama Sebagai Sistem

Firman Allah diatas menjelaskan bahwa agama merupakan kebutuhan. Kalau boleh dikatakan, agama adalah roh manusia yang bisa membuat manusia hidup dan bersemangat dalam mengarungi ganasnya kehidupan. Sudah menjadi tabiat manusia bila ada masalah di luar kemampuannya, mereka akan mencari penolongnya yang dianggap memiliki kekuatan di atas segala kekuatan untuk dimintai pertolongan (QS. 17:83). Pemilik kekuatan linuwih inilah yang dinamakan “Tuhan”.

Sudah menjadi fitrah bila manusia merindukan Tuhan. Ini semua tak lepas dari kejadian awal manusia yang suci, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Itulah ajaran yang disebut hanif. Melalui kehanifan ini, manusia berusaha mencari kebahagiaan hakiki yang akan tercapai bila manusia mampu menemukan kesejatian Tuhan. Untuk itu, kita memerlukan sebuah sistem hanif yang akan mengantarkan kita tepat pada sasarannya. Sistem inilah yang kita sebut dengan agama.

Agama dipandang sebagai cara atau sarana untuk menemukan kebutuhan dambaan manusia. Walaupun, di abad ini ada yang percaya bahwa agama akan digantikan dengan ilmu pengetahuan. Namun, kini setelah kemajuan besar tercapai oleh pengetahuan, manusia tetap merasakan adanya kebutuhan terhadap agama berkenaan dengan bagaimana manusia meraih kebahagian pribadi dan sosialnya.

Tuhan adalah suatu keniscayaan bagi setiap manusia. Hal ini didasari oleh sifat yang ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya tanpa batas, ingin melepaskan dari wujud terbatas, dan mancapai inti wujud (Tuhan).

Pada diri manusia terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tentram, kecuali jika telah berhubungan dengan sumber inti wujud ini. Tanpa Tuhan, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan picik, jiwa-jiwa mendadak gersang, bencana pun semakin mengerikan.

 

Agama sebagai Sarana

Tetapi, yang perlu dicatat saat ini adalah agar agama tetap berada dalam fitrahnya, yakni sebagai kebutuhan pokok manusia dan tidak dianggap sebagai “opium”. Dan tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan agama itu sendiri dalam bentuk praktek membuat kebaikan bagi alam semesta. Hal ini penting, agar agama tidak kita pandang hanya sekedar ritual rutin yang bisa menyebabkan kita menganggap diri kita ini paling saleh setelah menjalankannya. Jika kita masih seperti itu, mungkin itulah agama yang disebut candu. Wajar, kalau manusia modern semakin sangsi dan pada akhirnya menciptakan agama dan Tuhan yang baru.

Jadi, memaknai agama dengan sebenarnya adalah keharusan bagi setiap umat beragama supaya agama benar-benar menjadi suatu manusia yang hanif tersebut. Sehingga keberadaan agama tetap langgeng dan tak tergantikan oleh paham-paham sesat lainnya. Agama bukanlah “berhala” yang harus disembah. Agama hanyalah sebuah sarana menuju ke-Esa-an Allah. Marilah kita hitung, berapa banyak diantara kita yang lebih beriman pada agamanya daripada beriman kepada Allah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar