Pelajar : Spesies yang Terancam Punah
Oleh : Ary El Wanasaby
Isu pemanasan global yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi mengakibatkan beberapa jenis makhluk hidup terancam kepunahannya. Tidak hanya itu, pembalakan hutan dan perburuan liar juga menjadi faktor penyebab hilangnya beberapa jenis satwa langka yang dilindungi. Sebagai contoh misalnya harimau Sumatera, jumlahnya sekarang bisa dihitung dengan jari. Itu contoh untuk hewan, bagaimana dengan manusia?
Dibanding dengan makhluk hidup lainnya, manusia memiliki daya survive lebih tinggi. Hal itu dikarenakan manusia memiliki akal pikiran sehingga dapat menyesuaikan diri dengan segala perubahan alam. Ia memiliki otak yang bisa digunakan untuk berpikir bagaimana caranya bertahan hidup. Melalui proses yang namanya belajar, selangkah demi selangkah ia bisa mengatasi permasalahan yang merintanginya. Dengan belajar manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berbeda halnya dengan makhluk hidup lain yang hanya memiliki insting dan naluri, maka yang namanya sarang burung pipit dari zaman Nabi Adam sampai sekarang tetap seperti itu, tak ada perkembangan. Dan dengan belajar pula manusia bisa memiliki kemampuan seperti makhluk hidup lainnya, seperti berenang seperti ikan, terbang seperti burung, bahkan melesat menjelajah ke luar angkasa yang tidak bisa dilakukan makhluk hidup manapun.
Begitu besarnya manfaat belajar bagi manusia sehingga ia menjadi syarat mutlak dalam rangka meningkatkan kapasitas keilmuan seseorang, sebagaimana sebuah iklan di TV mengatakan : "Ingin pintar, makanya belajar!". Maka sudah jelas jika ingin pintar itu, bukan dengan membakar buku pelajaran kemudian dicampur air lalu diminum, bukan pula mendatangi dukun lalu minta jampi-jampi dan mandi tujuh kembang setaman. Yang seperti itu bukannya jenius tetapi malah justru dikasih infus, masuk rumah sakit.
Motivasi belajar seseorang saat ini kalah jauh dibanding dengan orang-orang zaman dahulu jika dihubungkan dengan jumlah fasilitas yang ada. Sekarang berbagai fasilitas pendidikan sangat memadai, mulai dari peralatan praktek seperti sekop sampai laptop, semuanya lengkap. Belum lagi fasilitas kendaraan, buku gratis, sekolah tidak usah bayar (gratis juga), uang jajan selalu penuh, tetapi tetap saja kemauan untuk belajar masih kurang memuaskan. Bahkan sampai ada orang tua yang memaksakan anaknya untuk mengikuti les privat lantaran nilai ulangannya sangat jelek.
Berbeda dengan orang zaman dulu, meskipun sekolah harus jalan kaki, bersepatu merek nyeker-man, buku hanya sebuah "sabak" (lembaran plastik yang di belakangnya kertas karbon) dan sepotong lidi, tetapi ghirah untuk menuntut ilmu begitu luar biasa. Maka tidak heran jika kemudian lahir seorang pemikir dari bawah lampu senthir, lahir sarjana dari mengayuh sepeda, dan sebagainya. Semua itu dikarenakan semangat belajar mereka yang begitu besar.
Sayangnya sekarang ini makhluk jenis itu mulai langka, tidak semua manusia mau melakukan aktivitas yang sangat bermanfaat ini (belajar). Baik secara sadar maupun tidak sadar, faktanya mereka kebanyakan malah tidak menyukai pekerjaan yang mendayagunakan otak ini. Alasan mereka, "Ah, ngapain belajar, pusing-pusing". Atau, "Dari pada capek belajar, mendingan nonton TV". Dan berbagai alasan lain yang menandakan dangkalnya pola pikir mereka. Dan dewasa ini semakin banyak manusia jenis ini yang menempati planet bumi. Mereka tidak mau belajar dan cenderung menginginkan segala sesuatunya secara instan. Cak Nun mengatakan generasi sekarang adalah generasi ompong/kempong, tidak mau belajar, tidak mau susah-susah berpikir, dan menginginkan segala sesuatu secara instan, tidak mau susah-susah "mengunyah" informasi karena mereka memang sudah malas menggunakan "gigi". Walau tidak semua orang demikian, tapi ini cukup menjadi keprihatinan semua pihak dengan fakta bertambah maraknya tawuran, perjudian, narkoba, korupsi, dan sebagainya. Mereka semua saya dikategorikan sebagai manusia jenis non pelajar, walau identitasnya pelajar sekalipun.
Jika manusia jenis ini makin banyak, akhirnya tidak akan ada lagi manusia jenis pelajar. Dengan kata lain ia akan punah seperti hewan-hewan lainnya. Mereka secara otomatis tersingkirkan oleh manusia jenis non pelajar. Sebagaimana hukum fisika mengatakan, suatu benda yang sama besar dengan ruangannya tidak akan mungkin bisa dimasuki benda lain kecuali benda yang semula dikeluarkan terlebih dahulu. Maka sudah pasti harus ada yang tersingkirkan.
Lalu pertanyaannya kemudian, siapa sih pelajar itu? Apakah ia yang kemana-mana selalu membawa buku tebal, berkaca mata tebal, culun. Apakah kata pelajar itu hanyalah disematkan bagi orang yang sedang bersekolah/kuliah? Jawabannya Tidak!! Pengertian pelajar tidaklah sesempit itu. Pelajar itu artinya orang yang belajar, apapun itu jenisnya. Seseorang yang berusaha bagaimana cara mengendarai mobil, itu dinamakan pelajar. Seorang ibu yang sedang berusaha bagaimana cara mengasuh bayi yang baik, itu juga pelajar. Seorang petani yang berusaha bagaimana cara menggarap sawahnya dengan baik, itu juga pelajar. Seorang TKI yang sedang berusaha bagaimana menjadi seorang pembantu yang baik, itu juga belajar. Belajar adalah suatu kegiatan untuk berusaha menjadi lebih baik. Jadi kita semua adalah pelajar, dengan titik tekan/fokus masing-masing tentu saja. Mulai dari bayi sampai aki-aki adalah seorang pelajar.
Islam sendiri dengan gencar mengajar umatnya untuk belajar (menuntut ilmu), "tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina". Bayangkan ketika pada zaman Rosululloh dulu, belum ada kendaraan yang namanya pesawat terbang. Boro-boro pesawat, sepeda motor pun belum ada. Kendaraan tercepat yang ada pada saat itu adalah kuda. Sementara China merupakan negara yang terletak di benua Asia, jauh dari negeri Timur Tengah. Begitu tingginya semangat umat Islam untuk belajar (menuntut ilmu), sampai jarak pun tidak menjadi pembatas guna menambah pengetahuan mereka.
Belajar tidak dibatasi bagi para generasi muda saja. Sebagaimana yang saya sebutkan di atas, belajar itu dimulai dari bayi hingga aki-aki. Istilah Ki Hajar Dewantara menyebutnya "belajar sepanjang hayat" (long life education). Islam mengatakan, menuntut ilmu dari buaian sampai liang lahat. Jadi tidak ada alasan bagi orang tua untuk malu belajar. Di daerah saya ada orang tua yang belum bisa baca Al Qur'an. Sebenarnya ia ingin sekali pandai membaca Al Qur'an karena kebetulan ia tinggal di samping mushola sehingga sering mendengarkan orang membaca Al Qur'an. Tetapi ia malu untuk belajar, sehingga beberapa tahun kemudian ia tetap belum bisa membaca Al Qur'an. Tetapi sekarang ia sudah bisa membaca Al Qur'an, walau belum benar-benar lancar. Itu adalah salah satu contoh untuk memberikan gambaran bahwa belajar itu tidak dibatasi usia, tidak hanya terbatas bagi kalangan muda, tetapi juga tua.
Kembali pada permasalahan di atas. Sekarang ini semakin banyak orang yang tidak mau belajar. Sering mereka terjatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya. Itu dikarenakan mereka tidak mau belajar. Mereka lebih senang mencari jalan pintas untuk mewujudkan keinginannya walaupun kenyataannya harus menggunting dalam lipatan, pagar makan tanaman, menjegal kawannya sendiri. Mereka tak pedulikan itu. Mereka lebih senang hidup enak di atas penderitaan kawannya sendiri ketimbang mangan ra mangan asal kumpul, sengsara namun bahagia.
Mungkin orang yang sukanya ngeyel akan berkilah. "Lho! Bukannya berusaha untuk bagaimana caranya menjegal kawan sendiri juga termasuk belajar?" Itu bukan belajar namanya, tapi menenggelamkan diri dalam kesesatan. Belajar itu adalah "berusaha untuk menjadi lebih baik", bukan sebaliknya. Sudah jelas orientasinya di sini adalah positif. Berarti jika ada seorang pejabat lalu korupsi, berarti ia tidak belajar dari pangkat dan kedudukannya. Bila ada orang kaya yang sombong, berarti ia dikatakan tidak belajar dari kekayaannya. Bila ada seorang pedagang berlaku curang, maka ia tidak belajar dari pekerjaannya sebagai pedagang. Dan masih banyak lagi sekarang ini orang yang tidak bisa belajar dari kedudukan, pangkat dan jabatannya.
Sebenarnya makna belajar adalah hidup itu sendiri, ia tidak hanya dibatasi oleh tembok sekolah. Siapa yang tidak belajar dalam hidup maka ia akan tenggelam dilamun ombak zaman. Siapa yang berhenti belajar, maka ia akan terombang-ambing di tengah samudra kehidupan.
Jadi belajarlah kapan saja dan pada apa saja/siapa saja dengan cara mengambil setiap sisi positif dari suatu objek yang ingin dipelajari. Jika itu dilakukan secara berkesinambungan, maka Insya Allah kebijaksanaan akan selalu dekat dan akan semakin terbuka lebar pintu surga baginya. Mudah-mudahan kita termasuk ke dalam jenis orang yang pelajar sehingga mampu menjadi seperti "lebah-lebah" yang mengambil "madu" dari setiap "bunga" yang dihinggapinya. Moga bermanfaat.
Gowok, 15 Desember 2009
Selasa Pukul 17.43 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar