EMANSIPASI BUMI
Oleh:Jagad Pamungkas
Apakah korelasi antara hari bumi dengan hari kartini? Jawabannya tergantung kita bagaimana menginterprestasikannya alias meng"othak-athik" yang nantinya bisa "gathuk" (cocok/ketemu). Hari kartini merupakan hari yang bersifat nasional artinya hari 21 april, yang merayakannya hanya perempuan-perempuan Indonensia, sedangkan hari bumi, 22 April, bersifat global dan yang memperingatinya pun umat se-dunia sehingga dilihat dari "othak-athik" ini tak ada hubunngannya.
Akan tetapi jika kita ingat dengan kata-kata nenek moyang yang selalu mempersonifikasikan bumi sebagai seorang perempuan (ibu) sedangkan langit sebagai "bopo angkoso", seorang bapak, maka akan ada korelasinya. Kenyataan memang begitu, bumi dan perempuan sampai saat ini masih terkungkung dalam eksploitasi, diperdaya dan dianiaya keadaannya.
Entah bagaimana awal mula penggunana kata" ibu pertiwi" untuk menyebut "tanah air", apakah karena benak kita telah terwarisi oleh budaya nenek moyang yang selalu menempatkan perempuan di bawah kakinya dan memposisikan laki-laki di atasnya perempuan. Sedangkan sosok laki-laki dipersonifikasikan sebagi "bopo angkoso" sebuah personifikasi yang menggambarkan posisi laki-laki kelihatan gagah. "Langit" mempresentasikan keadaan yang luas, tanpa batas, seiring dengan keadaan laki-laki yang terkenal dengan "ombo jangkahe", luas jangkuannya, dibandingkan dengan sosok perempuan.
Sedang sosok perempuan selalu dipersonifikasikan dengan bumi yang cara memandangnya tentu berbeda dengan cara memandang langit (laki-laki). Tidak mungkin orang melihat bumi dengan mendongakkan kepala kecuali orang tersebut berada dalam gua atau telah terjadi pemutarbalikkan arti langit di dalam pikirannya. Memang demikianlah yang terjadi dengan diri perempuan yang kadangkala, untuk tidak menyebutkan selalu, dipandang dan di tempatkan di bawah laki-laki. Perempuan menempati dalam posisi ter-subordinat, terpinggirkan. Pandangan ini menjadi semacam hegemoni terhadap perempuan. Hegemoni sendiri menurut Gramsci adalah menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual sehingga orang yang dikuasai mematuhi penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma-norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka.
Memperhatikan pengertian hegomoni di atas bahwa kelanggengan peminggiran posisi terhadap perempuan tidak hanya faktor dominannya kuasa laki-laki melainkan karena faktor perempuan yang juga telah menyebabkan kelanggengan itu tetap berlangsung. Nah, kartini lah, meskipun banyak juga perempuan-perempuan lain yang juga ikut serta berjuang untuk kaumnya (perempuan), yang mencoba mendobrak pintu hegomoni tersebut dan "mengalirkan air kesetaraan' kemanusiaan dengan kaum adam : menjadi wanita tidak cukup hanya dengan perannya sebagai "konco wingking" yang segala sesuatu harus "sendiko dawuh" terhadap keputusan laki-laki akan tetapi segala sesuatu permasalahan yang menyangkut hidup keluarga, kemasyarakatan perlu dibicarakan bersama sehingga akhirnya wanita tidak sekedar "suwargo nunut neroko katut".
22 April: Selamat Idul Fitri Bumi
"selamat Idul fitri bumi, maafkanlah kami yang selama ini tidak semena-mena kami memperkosamu. Selamat idul fitri langit, maafkanlah kami, selama ini tidak henti-henti-hentinya kami mengelabukanmu" ( gus Mus. Selamat Idul Fitri)
Biarkanlah perempuan-perempuan memperjuangkan haknya dan membuka tabir yang menyekat di sepanjang peradabannya. Sekarang marilah kita meng-emansipasikan bumi, meng-Idul Fitrikan bumi, mengembalikan bumi pada fitrohnya.
Bumi yang selama ini telah begitu relanya menampung diri kita, cucu kita, tingkah laku, kedzoliman, kesombongan maupun ketawadhu'an kita tanpa menagih upah sepeser pun serta berupaya sebaik mungkin menelurkan nutfah-nutfah kesuburannya demi kelangsungan hidup "sang kholifah" agar tidak "fakir" dan terganggu maenjalankan amanatnya. Namun kelihatannya "sang kholifah" tidak menyadari keikhlasan "ibu pertiwi", malah sebaliknya kelakuan "sang kholifah' semakin menggila mengeksploitasinya. Padahal yang dibutuhkan "ibu pertiwi" hayalah sebuah sikap kearifan dalam mengelolanya, memperlakukannya sama sebagai satu kesatuan sebagai Makhluk Allah yang mempunyai kesamaan dalam menauhidkan, menyembah dikeharibaan-Nya meskipun mempunyai perbedaan Syari'at dalam menyembahnya.
Mengapa bumi harus diselamatkan? Bukankah dia juga makhluk yang berarti bisa memperjuangkan haknya? Betul! Bumi memang makhluk serta bisa memperjuangkan haknya jika terdzolimi. Perjuanggannya mengikuti sunatullah, hukum alam, kausalitas yang telah ditetapkan. Sebetulnya bumi telah lama protes terhadap manusia, lewat caranya seperti banjir, tanah longsor, meluapnya lumpur dan sejumlah protes yang lainnya hanya saja kewaskitaan kita tidak bisa menagkap sinyal-sinyalnya, tak pernah tertangkap oleh "roso" yang tersimpan di dalam lubuk hati ini. Kelumpuhan ini disebabkan karena kesombongan yang telah lama membatu dan membalut alat kesadaran kita. Mungkin juga anggapan kita yang memperlakukan bumi sekedar sebagai benda mati karena dalam dirinya (bumi) tidak pernah terjadi respirasi dan aktivitas metabolisme biologi. Padahal segala sesuatu mempunyai ruh yang digunakan untuk menjalin komunikasi dengan kholiknya dan menangkap pancaran aura dari makhluk lainnya. Ruh adalah sejenis osilograf, alat pencatat getaran. Segala sesuatu mempunyai energi yang dipancarkan dengan panjang gelombang yang berbeda sesuai karekteristik benda itu sendiri. Panjang gelombang inilah sebenarnya bahasa yang terucapkan bagi makhluk lain yang memang tidak mempunyai mulut untuk bicara. Sebagai contoh, jika panjang gelombang sebagai bahasa, dengan satelit kita bisa membaca kerusakan lapisan ozon di atmosfir, di mana kerusakan itu tidak bisa terbaca oleh manusia jika hanya dengan mata telanjang. Dengan peralatan inilah manuisa sekarang mengasah kewaskitannya dan rasa 'weruh sak durunge winarah'nya ( mengetahui kemungkinan yang akan terjadi).
Tapi perlu disadari bahwa osilograf murni dan buatan berbeda dalam efek terhadap "cancut tali wondo", sikap aksi karena ada reaksi, pada diri manusia. Hal terlihat dalam realitanya, meskipun banyak alat modern yang mengabarkan bahwa lingkungan kita dalam keadaan krisis yang akut tapi ternyarta reaksi dari kita tak cepat menanggapinya bahkan terkesan menyepelekannya. Akan tetapi jika osilogaraf yang bekerja itu adalah alami, hati, maka getaran sekecil apapun akan cepat meng efek dalam sikap tanggap kita.
Bukti kemanjuran hati dalam menangkap getaran-getaran bahasa alam adalah bagaimana Nabi Sulaiman menghentikan langkahnya ketika di depannya ada koloni semut yang melintas. Begitu juga dengan orang yang telah mencapai derajat ma'rifah dengan kewaskitaan, tajamnya mata hati, selalu memperhatikan tingkah alam. Bersih desa merupakan bagian bagaimana kita menghormati alam. Hanya saja yang disayangkannya jagad simbol yang diwariskan itu diinterpretasikan oleh generasi selanjutnya hanya sebagai sebuah seremonial belaka bahkan terkadang malah menyimpang menilainya, sebagai sebuah sesembahan kepada "dayang" setempat. Ini merupakan kegagalan kita membaca jagad simbol layaknya kegagalan seorang mahasiswa membaca rumus matematis dan menyamakan rumus matematis itu merupakan sesuatu yang memang terjadi, keadaan sebenarnya, padahal rumus matematis, simbol-simbolnya, hanyalah sebuah wakil untuk memudahkan kita membaca suatu keadaan yang tengah berlangsung.
Sebagai kesimpulan. Untuk mengemansipasikan bumi, alat yang kita butuhkan bukan hanya sekedar alat-alat modern yang berjibun, meskipun itu juga diperlukan, akan tetapi mempertajam hatilah yang diperlukan. Hati merupakan alat yang membisikkan kepada pemiliknya untuk bergerak, bereaksi ketika ada reaksi perlu di pertajam. Mempertajam hati bukanlah hal yang sulit tergantung komitmen manusia untuk memperbaikinya. Tombo hati adalah langkah yang bisa ditempuh. Semoga dengan hati yang bening, kewaskitaan kita semakin baik dan bisa menangkap sinyal-sinyal dari sekitar kita, termasuk keluhan alam. Semoga.
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijga jurusan Pendidikan Kimia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar