Hikmah di balik Musibah
Oleh : Ary El Wanasaby
Pada jumat 27 Maret 2009 dua minggu yang lalu, bencana besar kembali melanda bangsa Indonesia. Jebolnya tanggul Situ Gintung yang mengakibatkan puluhan bahkan ratusan jiwa menjadi korban sempat menolehkan perhatian kita padanya. Tidak hanya itu, kerugian materi berupa rumah dan harta benda lainnya juga mencapai angka tak terhitung jumlahnya. Korban materi masih bisa dicari, tetapi korban jiwa kemanakah mencari penggantinya.
Situ Gintung hanyalah satu dari sekian banyak bencana yang melanda bangsa Indonesia. Kejadian lain seperti banjir yang setiap tahun menjadi langganan kita di sebagian wilayah Indonesia, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, bahkan sampai lumpur panas juga merupakan bencana yang mungkin sampai saat ini masih belum bisa tertanggulangi. Kesemua bencana itu selalu memakan korban jiwa, dan menyisakan isak tangis serta ratap pilu keluarga korban yang ditinggalkan.
Manusia hidup tak pernah lepas dari bencana. Susah-senang, sedih-bahagia adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, yang juga merupakan bagian dari kompleksitas kehidupan. Bencana merupakan salah satu sisi gelap kehidupan, suatu hal yang tidak menyenangkan, menyakitkan, dan menjadi beban penderitaan yang semua orang tentu tidak ingin mengalaminya. Namun mengharapkan bencana hilang dari permukaan bumi ialah suatu hal yang utopis dan mau tidak mau kita memang harus bisa menerimanya sebagai kenyataan yang pada akhirnya harus dihadapi.
Terjadinya bencana pada dasarnya adalah akibat ulah manusia sendiri, bukan salah siapa-siapa, bukan pula karena Tuhan menginginkan manusia sengsara. Ini adalah hukum alam, atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah “sunnatullah”. Bencana alam yang terjadi seperti Situ Gintung misalnya merupakan perwujudan hukum sebab akibat yang sudah menjadi ketetapan-Nya, dan juga sebagai bukti bahwa Allah SWT Maha Kuasa. Allah SWT berfirman :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah swt” (Surah al-Hadid [57] : 22)
Sebagai orang yang beriman dan berpendidikan, sudah sepatutnya kita mengambil pelajaran berharga dari berbagai peristiwa bencana yang melanda disekitar kita. Sebab tidak ada kejadian / peristiwa yang tidak bisa diambil hikmahnya. Bahkan kebiasaan sehari-hari pun jika kita mau merenungkannya, akan ditemukan hikmah di dalamnya. Dan sikap kritis dalam menyikapi setiap bencana merupakan faktor kunci untuk bisa menggali hikmah apa dibalik itu semua.
Ada sebuah kisah pada zaman khalifah Umar bin Khatab, yang merupakan sahabat Rosulullah SAW. Pada zaman itu, pada masa pemerintahan beliau, terjadi bencana dahsyat berupa gempa yang melanda suatu daerah yang dipimpinnya. Dan Beliau mengunjungi daerah tersebut. Apa yang diucapkan Umar? “Wahai rakyatku, dosa besar apa yang telah kalian lakukan sehingga Allah SWT menimpakan azab seperti ini!” Bagi sebagian orang pertanyaan ini terlihat kasar, apa lagi ditujukan kepada orang yang tertimpa musibah. Tapi, Umar bertanya seperti itu bukan tanpa alasan. Tujuan Umar sebenarnya adalah ingin mengajak umatnya untuk mengintrospeksi diri. Dan inilah juga yang seharusnya kita lakukan, bukannya saling tuding dan lempar tanggung jawab satu dengan yang lain. Bencana bukanlah bola tenis yang bisa dilempar ke sana kemari, dan juga bukan barang rongsokan yang bisa ditinggalkan dan diabaikan. Kebersamaan dalam setiap kesempatan mempunyai kebaikan tersendiri sehingga pada akhirnya bencanalah yang melarikan diri.
Dalam Al Quran surat Hud (11) ayat 117, Allah SWT berfirman : “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” Dan dalam surat Al Qashas 28: 59 Allah SWT juga berfirman : “... dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.”
Di sini kita tidak akan mengorek kesalahan atau dosa besar yang dilakukan orang lain. Tapi marilah kita tengok diri kita masing-masing dan renungkanlah pertanyaan Umar tersebut, perbuatan apa yang membuat Allah SWT murka pada kita. Jangan sampai karena alasannya Allah SWT mulai bosan dengan kelakuan kita yang selalu berbuat salah dan dosa. Kita berharap bencana yang diturunkan Allah adalah ujian bagi kita, yang berarti Allah SWT sayang pada kita, bukannya azab kemurkaan-Nya.
Sebenarnya bencana dalam Islam itu dipandang dalam 3 dimensi, yaitu musibah, ujian, dan azab. Peristiwa itu juga dapat kita lihat dalam Al Quran melalui kisah-kisah para Nabi dan Rosul dengan kaumnya masing-masing.
Pertama, Islam memandang bencana sebagai musibah dan cobaan, mengandung pengertian bahwa bencana bukanlah suatu kesia-siaan. Musibah dalam pengertian orang Islam adalah apa yang telah menimpa secara tidak menyenangkan. Bencana harus dihadapi dengan sabar dan tawakal kepada Allah SWT, karena mengandung berkah di dalamnya. QS Al Baqarah (2) : 155 – 157 berbunyi : “(155) Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : innalillaahi wa innaa ilaihi raaji`un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). (157) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kedua, bencana sebagai ujian. Yaitu bencana dari Allah SWT yang ditujukan kepad orang-orang beriman untuk menguji tahap kesabaran dan sejauh mana ketaqwaan kepada Allah SWT. Hidup tidak selamanya baik, dan juga tidak selamanya buruk. Bencana tidak selamanya menimpa diri seseorang, tapi bencana juga tak mungkin hilang dari kehidupan seseorang. Manusia yang tinggi derajat ketaqwaannya akan selalu menganggap bencana sebagai ujian dari Tuhan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Tidak hanya bencana sebenarnya, bahkan kesenangan dan kemakmuran sekalipun juga merupakan ujian, apakah manusia bersyukur atau malah kufur. Dan bagi mereka yang lulus ujian akan mendapat sertifikat dan penghargaan dari Allah SWT berupa derajat yang “muttakin”.
Ketiga, bencana sebagai azab. Hal ini dipandang sebagai siksaan Allah SWT di dunia yang ditimpakan kepada mereka yang ingkar dan suka membuat kerusakan di muka bumi. Allah SWT memberikan azab setelah sebelumnya diberikan peringatan melaui utusan (Rosul) tetapi mereka tetap saja membangkang. Firman Allah : “...dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” QS Al Isra` (17) : 15. Berbagai azab Allah SWT dapat kita saksikan dalam Al Qur`an seperti apa yang dialami oleh umat Nabi Nuh, Luth, Syu`aib, Fir`aun, dan sebagainya merupakan bencana yang bersifat siksaan Tuhan yang disebabkan mereka ingkar dan suka membuat kerusakan di muka bumi, meskipun sudah diperingatkan.
Lalu mungkin yang menjadi pertanyaan kita adalah bagaimana dengan bencana di Situ Gintung, apakah bencana itu ujian ataukah azab? Permasalahan ini kita kembalikan kepada para korban bencana sendiri, apakah yang mereka perbuat selama ini menyebabkan Tuhan murka ataukah sebaliknya. Bisa saja bagi mereka yang beriman tentu hal itu dianggap sebagai ujian. Sedangkan azab ditujukan bagi mereka yang ingkar dan membuat kerusakan di muka bumi.
Sementara terkait dengan sikap kita dalam menghadapi bencana sebaiknya hadapi dengan sabar dan tawakal. Pasrah kepada sunnatullah laksana sujudnya bintang gemintang yang dengan ikhlas beredar mengikuti aturan Allah. Oleh karena itu bencana harus didikapi secara arif, bukanya saling tuding dan menyalahkan satu sama lain. Dengan demikian harapannya solusi terhadap semua bencana dan masalah lain dapat segera terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar