Kamis, 12 Agustus 2010

Ramadhan Mulia = Mukmin Mulia + Muttaqin Mulia

Ramadhan Mulia = Mukmin Mulia + Muttaqin  Mulia

Oleh: Muhammad Husain Aziz


Yaa ayyuhal ladzina amanu, demikian ayat 183 surat al-Baqarah menyeru, wahai orang-orang yang beriman. Siapakah seorang mukmin yang dimaksud? Mukmin adalah seseorang yang pandangannya melampaui penjara-penjara material, dan ketika dia melihat manusia yang muncul dari alam, dia tidak melihatnya terbatas pada alam yang nyata saja. Sebaliknya, dia melihat manusia sebagai sesuatu yang lebih besar dari keseluruhan alam, karena alam bersifat terbatas, sedangkan manusia, pada satu sisi, tidak terbatas dan abadi1.

Manusia yang beriman mempunyai kelebihan mutlak, mempunyai pandangan yang jauh. Visi hidup yang jernih dan menjernihkan. Misi hidup yang bersih dan membersihkan. Seorang mukmin tidak akan sibuk dan hanya disibukkan oleh sesuatu hal yang remeh, berupa dunia dan alam yang terbatas ini -penjara-penjara material-. Akan tetapi seorang mukmin akan melihat jauh di atas ini semua, yang melampaui ini semua. Mereka melihat sesuatu yang disebut dengan after life, pasca kehidupan ini. Akhirat, yang dimana surga dan neraka merupakan tempat yang kekal abadi untuk selama-lamanya. Surga akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya, neraka pun akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya. Olehnya manusia dalam keadaan tidak terbatas dan abadi.

Maka menjadi mukmin pun kita harus mulia, dan bagaimanakah mukmin yang mulia itu. Seorang mukmin yang menjalani penuh kewajiban-kewajibannya sebagaimana wajibnya seorang mukallaf. Puasa adalah salah satu halnya.

Pada ayat seterusnya dari ayat di atas disebutkan, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, la`allakum tattaqun. Bertaqwa adalah buah dari puasa yang disebutkan. Sebuah maqam atau kedudukan di mata Allah SWT yang tinggi tentunya. Karena tidak semua orang beriman mendapatkan predikat bertaqwa. Masih banyak sekali kondisi, seorang yang mengaku mukmin, beriman, akan tetapi meninggalkan kewajibannya. Memang tidak mampu kita menyebutkan hidung, bahwa dia orang yang beriman, namun tidak bertaqwa. Akan tetapi cukuplah kita menengok bagaimana realitas kondisi sosial masyarakat kita. Cukuplah kita mendengar banyak berita yang menyebutkan bahwa negara kita menjadi penyumbang terbesar koruptor. Cukuplah kita mendengar berita bahwa ketidakadilan merajalela di setiap lini kehidupan masyarakat kita. Semua ini adalah indikasi bahwa hampir dari kita semua hanya mampu menjadi orang yang katanya beriman, akan tetapi masih belum mampu menjadi orang yang bertaqwa.

Apa arti menjadi taqwa? Taqwa adalah menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya. Bila puasa itu wajib, maka kita menjalaninya adalah buah dari sebuah taqwa, dan kasih sayang atau sering kita sebut rahmat; sebagaimana buah puasa kita berupa empati terhadap mereka yang berada digaris kemiskinan dan ketidakberdayaan pun merupakan sebuah kewajiban kita yang berpuasa. Maka semua hal yang menjadi larangan-Nya, berupa korupsi, nepotism, kolusi, semua hal yang merugikan ekonomi, politik kotor, dan hal lain yang menyangkut semua larangan, pastinya akan kita jauhi. Itulah sebenar-benarnya taqwa.

Dalam sebuah Munajat Sya`ban, sebuah munajat yang dihadapkan pada Allah SWT dalam menuju perjalanan Ramadhan, dan Sya`ban adalah bulan sebelum Ramadhan; penggalan doa itu disebutkan sebagaimana berikut:

Ya Allah, anugerahilah aku perpisahan total dari selain Engkau, dan keterikatan pada-Mu, dan cerahkanlah pandangan hatiku dengan pandangan yang menatap-Mu, sehingga terkoyaklah hijab cahaya dan tercapailah mata air sumber kecemerlangan, dan jiwa-jiwa kami tercekam oleh cemerlangnya kesucian-Mu. -Ketika manusia mengarahkan dirinya kepada selain Tuhan, hijab kegelapan dan hijab cahaya pun menyelimutinya. Segala macam urusan dunia yang menyebabkan manusia mengarahkan perhatiannya kepada dunia dan melupakan Tuhan Yang Maha Kuasa akan menciptakan hijab kegelapan; sesungguhnyalah, seluruh dunia wadag akan menciptakan serangkaian hijab itu. Tapi, jika urusan-urusan dunia membawa manusia untuk mengarahkan dirinya kepada realitas dan hari akhir -yaitu dunia yang akan memuliakan manusia- hijab kegelapan berubah menjadi hijab cahaya. Pemisahan total dari dunia ini tercapai jika seluruh hijab, baik hijab kegelapan maupun hijab cahaya, telah disingkapkan atau dikoyakkan; dan memberi kesempatan kepada manusia untuk memasuki tempat persinggahan ilahiah, yaitu ‘mata air kecemerlangan’2-

Sebuah doa yang mengajarkan kepasrahan total dan bersih. Kepasrahan suci nan menyegarkan batin. Bahwa bulan Ramadhan yang dituju adalah bulan yang di sana hilang semua keinginan maupun tujuan selain Allah SWT. Semuanya hanya untuk menghadap kepada-Nya. Hilang semua motivasi, selain motivasi kepada-Nya. Kita diritualkan berpuasa hanya untuk mengharapkan pahala dari-Nya, bukan pamer terlebih pamer ketaqwaan. Bulan dimana kesucian hati dan kebersihan pikiran menjadi tujuan utama. Bilamana kesucian hati dan kebersihan pikiran telah didapatkan, maka berbahagialah sang manusia. Bulan ibadah, yang tertutup semua keinginan kecuali hanya beribadah kepada-Nya. Bulan dimana setiap detailnya merupakan ibadah, bila benar kita semua menjalani-Nya. Hingga konon tidurnya seorang yang berpuasa pun adalah ibadah.

Muliakanlah bulan Ramadhan ini dengan menjadi pribadi yang mulia, dengan rumus sederhana di atas, yaitu menjadi mukmin yang mulia; yang dalam surat al-`Asr disebut sebagai pelaku kebaikan, pemberi nasehat kebenaran, dan pemberi nasehat dalam kesabaran. Pribadi yang bertuturkan motivasi dalam kebenaran dan kesabaran. Bukan pribadi yang menggunjing dan mencela. Bukan pribadi yang nyinyir dan kata-katanya menyakiti liyan.

Pun menjadi muttaqin yang mulia, yang telah terbiasa tergodok oleh puasa. Terbiasa dalam menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hingga pasca itu semua, ketika semua kejahatan, keburukan mencapai taraf minimal. Dimana tidak ada lagi garis kemiskinan akut, karena yang di sana tidak lagi terbiasa korupsi. Hingga laku korup menjadi nihil, dan sang muttaqin menjadi suka pada shodaqoh dan zakat yang telah menjadi kewajibannya. Adanya hanyalah kebaikan dan kebaikan, yang ada adalah kesejahteraan dan kesejahteraan. Muttaqin mulia telah berhasil, maka ketinggian Islam tak perlu lagi diragukan.

Akhirnya, semoga dan semoga, Ramadhan ini tidak hanya sekedar Ramadhan seperti biasanya. Hanya mengundang lapar dan haus. Semoga Ramadhan ini lebih dan lebih lagi mendekatkan kita semua kepada pribadi mukmin dan muttaqin; yang keutamaannya berkali-kali disebutkan dalam al-Qur`an. Pribadi mukmin dan muttaqin yang mampu merubah kondisi seluruh lapisan masyarakat dimanapun mereka berada. Mengeluarkan yang buruk, meninggalkannya, dan memasukkan yang baik, dan menjadikan kebaikan sebagai laku utama. Bila semua itu belum mampu kita maksimalkan, maka bolehlah kita akan bertanya, mana yang salah dari ini semua. Bertanyalah, bertanyalah! Untuk menemukan jawabannya. Karena al-Ghazali menyatakan, “orang yang tidak pernah merasakan keraguan tidak akan pernah sampai kepada kepastian.3

1 Muhammad Khatami, Membangun Dialog Antarperadaban, Harapan dan Tantangan.

2 Munajat Sya`ban berikut keterangannya, disarikan dari seorang tokoh.

3 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim

Mendedah Makna Ramadhan

Mendedah makna Ramadhan

Oleh : Muahammad Husain Aziz

“Ramadhan Kareem!” demikian seru Obama. Ternyata dia pun tahu bahwa kurang dari seminggu ke depan ini, Ramadhan -bulan paling sakral menurut Islam- menjadi sebuah atmosfir baru bagi perikehidupan muslim di seluruh dunia. Siapapun dia, ketika telah menjadi seorang muslim -entah dia muslim Sunni maupun muslim Syiah- maka dia akan berpuasa selama sebulan penuh. Siapapun itu, asalkan dia masih hidup di planet bumi, dengan kondisi saat ini yang lintas informasinya telah berjalan lancar akan tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa bagi ummat Islam seluruh alam.

Puasa menjadi kewajiban bagi seorang mukallaf; seorang muslim yang mempunyai kriteria wajib dalam memenuhi kewajiban agamanya. Puasa adalah sebuah proses ibadah; sebuah jalan bertemu dan menyapa Allah SWT sebagai sang Khaliq yang patut disembah.

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون –البقرة-

Dalam ayat 183 surat al-Baqarah di atas, al-Qur`an menyatakan bahwa, puasa merupakan sebuah manifestasi positif berupa ketakwaan bagi الصائم: pelaku puasa.

Sungguh perlu didedahkan kembali arti sebuah ketakwaan di sini, menyangkut korelasi antara ritual puasa dan ketakwaan. Apakah hasil semuanya akan boom!; menjelma secara ujug-ujug begitu saja ketika seseorang berpuasa, jadilah dia menjadi bertakwa. Tentu saja tidak demikian. Puasa juga merupakan sebuah konsep yang sama seperti semua konsep ritual Islam seorang Muslim, yang tidak bisa tidak mempunyai dua konsep dasar; yaitu konsepsi lahiri dan konsepsi batini. Dua konsepsi yang tak terpisahkan.

Secara lahiri, okey-lah seseorang berpuasa, menahan lapar dan haus, menahan semua hal-hal yang membatalkan puasa dari saat sahur hingga berbuka. Maka bolehlah dikatakan bahwa seorang tadi telah sah berpuasa dan pastilah dia mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Namun hal yang batini mestinya juga jangan sampai ketinggalan, apalagi sampai terlupa, bahwa berpuasa adalah sebuah jalan empati kita kepada masyarakat papa yang cenderung jauh di bawah kita. Bahwa barangkali mereka setiap saat mungkin -tidak hanya sebulan- dalam bertahun-tahun hidupnya telah menjalani sebuah puasa abadi karena kemiskinan. Mereka telah mengalami perihnya asam lambung menggigit perut mereka karena tak ada sesuap makanan yang mampu mereka makan. Tidak bisa dibandingkan dengan kita yang telah siap sedia dengan obat maag yang telah kita siagakan -paling tidak kita sudah menyediakan uang untuk berobat saat kita sakit-. Mereka tak lagi berpikir tentang maag, apalagi tentang asam lambungnya yang membuat mereka kembung. Mereka hanya tahu bahwa mereka tak mampu membeli ataupun memperoleh makanan. Mereka tak berpikir apakah mereka berpuasa ataukah tidak. Mereka hanya tahu bahwa mereka lapar. Mereka tak makan, dan mereka kelaparan.

Maka empati tertinggi kita dalam berpuasa -sebagai manusia mulia yang mendapatkan cahaya Islam- adalah kembali kepada kesederhanaan hidup, dan berteguh pada perjuangan dalam melawan dan meminimalisir kantong-kantong kemiskinan masyarakat kita. Bukan malah sebaliknya, kita merasa cukup dengan semua puasa lahiri kita, dan dengan apa yang menjadi hikmah dari berpuasa lepas begitu saja dari kita.

Kita tak pernah merasa malu, saat berbuka macam-macam hidangan telah menanti kita. Kita tak pernah merasa sedemikian sulit dengan puasa kita, karena puasa ini bagi kita hanyalah semacam peralihan jam makan. Kita telah jauh membuang empati puasa kita jauh-jauh dari kita. Tak pernah berpikir bahwa masih ada yang kelaparan nun jauh di sana.

Puasa dan Ramadhan yang semestinya memamerkan rasa empatinya tak mampu lagi ada. Belum selesai dengan perihal lapar dan haus, kita telah bertingkah dengan semua polah gagah bak peragawan dan peragawati, dengan busana serba kinclong dan baru, yang kita jadikan sebuah perayaan untuk menyambut bulan Ramadhan.

Belum selesai kaum papa berpikir tentang perutnya, kita yang katanya berpuasa telah menonjok perasaan mereka dengan semua ke-wah-an berlebih dari gaya hidup kita. Tanpa kita sadari kita telah merasakan dogma baru, yaitu harus memakai sesuatu yang baru saat menyambut bulan suci. Maka lahirlah diri kita yang -lagi-lagi- jauh dari rasa empati puasa dan Ramadhan. Padahal itulah yang merupakan esensi batin berpuasa menuju sebuah manifestasi takwa.

Sebab dari itu, pantaskah semua label ketakwaan yang dijanjikan Allah SWT kepada kita. Bila kita tak benar-benar mau memaknai, mau lebih mendedahkan arti puasa dan Ramadhan yang mulia ini.

Sudah jelas kita ketahui sekarang, bahwa haus dan lapar hanya sebuah raga bagi puasa, jiwa puasanya tetaplah bagaimana rasa empati yang menelorkan lebih pada manifestasi ketakwaan berbentuk menolong sesama, menyebarkan kesetaraan, dan lebih mengobarkan semangat keadilan merupakan sesuatu yang kita temukan dari puasa dan Ramadhan. Bukan berarti bahwa yang terpenting adalah jiw­a-nya lalu kita meninggalkan raga-nya. Bukan juga seperti itu. Akan tetapi kita berpuasa menahan haus dan lapar, sekaligus berlaku kongkrit terhadap haus dan lapar mereka. Jangan sampai kita menjadi apa yang akan disebut oleh Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi sebagai yang tak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar.

Berpuasa menjadi sebuah instrumen keindahan yang melibatkan nuansa kasih berupa rasa haus dan lapar secara menyeluruh, yang disatukan oleh ketaatan -ibadah- kepada-Nya. Berpuasa menggerakkan rasa haus dan rasa lapar sebagai jalan untuk berbagi, saling membahu dalam melengkapi kekurangan bersama. Itu berarti tidak sebaliknya.

Berpuasa menjadi alat melawan lupa terhadap kejamnya kerakusan dan keserakahan. Bila telah teringat terhadap hal demikian maka siapapun yang berpuasa di bulan ramadhan maka haram baginya untuk berlaku korup, haram baginya untuk melakukan kejahatan ekonomi yang akan merugikan masyarakan banyak. Terlebih mengingat masyarakat papa dan kaum kalangan bawah.

Ramadhan dan puasa bukan hanya sebuah moment sekali dalam setahun, akan tetapi moment yang terus mempunyai bekas terhadap perilaku atau habit muslim sehat yang menjalankan puasa. Maka ketika terpenuhi sudah manifes-manifes positif ketakwaan puasa tersebut dalam perikehidupan yang menyeluruh. Benarlah kalamullah al-Qur`an al-Karim yang menyatakan bahwa hamba bertakwa telah lahir dan ia mempunyai predikat berhasil nan-sukses. Darinya muatan keadilan sosial tercapai; maka jadilah Islam menjadi sebuah ushul atau teologis yang sempurna dan menyempurnakan kondisi masyarakat penganutnya..

Kewajiban berpuasa tidak lain adalah untuk ketakwaan, ketakwaan yang tidak bersifat personal tentunya, yaitu ketakwaan menyeluruh. Secara universal mencakup seluruh ummat manusia. Karenanya tepat bila disebutkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan paling istimewa.

Semoga Ramadhan dan puasa kita di depan mampu menjadi dan menumbuhkan kita semua menjadi manusia takwa yang dijanjikan, yang dengan demikian semua masalah masyarakat kita, seperti merebaknya korupsi, lelaku ekonomi curang dan semua manifestasi buruk dalam masyarakat kita lebur. Hilang berganti dengan manifestasi kebaikan Ramadhan dan puasa. Berganti dengan apa yang disebut Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi dengan rahmat, hidayah, dan maghfirah. Pun senantiasa melingkupi kita semua, di manapun dan kapanpun kita.

Sungguh semoga biarlah kita menjadi apa yang Nabi sabdakan, barang siapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keyakinan dan mengharap balasan dari-Nya, maka sungguh dosa-dosa yang telah ia lakukan diampuni oleh Allah Jalla wa A`la. Semoga spektrum kebaikan Ramadhan kali ini meluas, memancar kuat, merubah bebas segala keburukan-keburukan personal maupun sosial, dan merubahnya menjadi kebaikan-kebaikan individu yang tawadhu` dan kebaikan sosial yang berkeadilan. Wallah, semoga Allah menyempurnakan ibadah puasa kita. (Muhammad Husain Aziz N)


Pelajaran dari Kupu-kupu

Pelajaran dari Kupu-kupu

Oleh : Ary El Wanasaby


Hidup adalah perjuangan. Apapun kegiatan kita di muka bumi ini pada dasarnya adalah untuk mempertahankan eksistensi diri, agar tetap langgeng sehingga bisa menjalankan tugas yang diembannya sebagai khalifah Allah. Khalifah adalah pemimpin. Sekecil apapun kedudukan kita di masyarakat, kita adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi diri sendiri.

Hidup memang membutuhkan perjuangan. Jika kita berbicara tentang “hidup”, maka kita akan dibenturkan dengan “masalah dalam hidup”. Tidak ada seorang pun yang hidup terbebas dari masalah, dan hidup pun tidak akan berarti jika tidak ada masalah. Masalah hidup sangat beraneka ragam, mulai dari yang sifatnya sepele seperti lupa mematikan lampu luar saat pagi hari, sampai masalah besar misalnya mengalami kecelakaan saat berkendara, punya hutang banyak, dan sebagainya. Masalah ada yang datang dengan sendirinya, ada pula yang sengaja kita buat sesuatu yang sebenarnya tidak masalah menjadi masalah. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut dibutuhkanlah apa yang namanya “perjuangan”. Perjuangan ibarat sebilah pedang yang berfungsi membabat semua masalah yang merintangi jalan hidup kita. Tanpa perjuangan, mustahil kita dapat keluar dari masalah.

Masalah timbul karena adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan kenyataan, atau dalam bahasa ilmiahnya yaitu kesenjangan antara das sein dengan das solen. Hal yang kita inginkan seharusnya lampu luar sudah dimatikan waktu pagi hari, namun kenyataannya masih menyala. Begitu pula saat berkendara kita tentu menginginkan selamat, namun kadang kenyataannya kita mengalami kecelakaan. Itulah beberapa contoh yang dinamakan masalah. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus ada masalah dalam kehidupan ini? Bukankah tanpa masalah kita dapat hidup dengan tenang dan tentram?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini kami mencoba menguraikannya dengan sebuah kisah menarik tentang bayi kupu-kupu. Berikut kisahnya.

Suatu hari pada saat lubang kecil timbul di suatu kepompong, seorang laki-laki duduk dan memperhatikan bagaimana seekor bayi kupu-kupu berjuang selama berjam-jam untuk memaksa mengeluarkan badannya melalui lubang tersebut. Akan tetapi beberapa saat kemudian, proses tersebut berhenti tanpa ada kemajuan lebih lanjut. Tampaknya bayi kupu-kupu tersebut sudah berusaha sekuat tenaga dan tidak bisa bergerak lebih jauh lagi untuk keluar dari lubang kepompong tersebut. Merasa kasihan, akhirnya sang lelaki tersebut memutuskan untuk menolongnya. Kupu-kupu tersebut akhirnya dapat keluar dengan mudah, walau dengan tubuh yang lemah, kecil, dan sayap yang mengkerut.

Sang lelaki terus mengamatinya dengan berharap bahwa suatu saat, sayapnya akan terbuka, membesar dan mengembang, agar bisa menyangga tubuhnya dan menjadi kuat. Lama menunggu, ternyata tidak terjadi apa-apa, dan kupu-kupu tersebut menghabiskan sisa waktu hidupnya dengan merangkak beserta tubuhnya yang lemah dan sayap yang mengkerut tidak pernah bisa terbang.

Itulah sepenggal kisah tentang bayi kupu-kupu, yang darinya kita dapat mengambil sebuah pelajaran. Lelaki baik dan penolong ini tidak mengerti bahwa kepompong yang menjerat maupun perjuangan yang dibutuhkan oleh kupu-kupu untuk dapat lolos melewati lubang kecil, adalah cara Allah untuk mendorong cairan tubuh dari kupu-kupu kesayapnya, agar kuat dan siap untuk terbang sewaktu-waktu setelah bebas dari kepompongnya nanti.

Perjuangan mutlak dibutuhkan dalam menjalani kehidupan kita ini. Apabila Allah membolehkan kita hidup tanpa ada hambatan, itu hanya akan membuat kita lemah. Adapun hambatan-hambatan itu adalah setiap masalah yang kita hadapi, yang kadang membuat kita bermuka masam, lebih parah lagi marah-marah sambil mengutuk orang lain yang tidak bersalah. Masalah bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi, sebab kita hidup tidak pernah lepas dari masalah. Sebaliknya, masalah ibaratnya bumbu penyedap yang akan menjadikan hidup menjadi manis, asem, asik. Karena masalah kita menjadi kreatif, karena masalah kita menjadi berjuang dan berusaha, karena masalah pula kita menjadi kuat dan pantang menyerah. Kita tidak perlu takut menghadapi masalah. Yakinlah. Allah hanya akan menguji kita sesuai dengan tingkat kemampuan kita.

Hidup di zaman modern yang serba kompetitif ini, perjuangan merupakan perkara yang mutlak kita miliki. Disamping itu, semakin maju sebuah peradaban semakin, kompleks pula masalah yang dihadapi. Di negara kita misalnya, beraneka macam masalah seolah datang bertubi-tubi. Sebut saja misalnya, korupsi yang sudah menjadi problem akut negara ini namun belum juga tuntas penyelesaiannya, belum lagi ledakan tabung gas yang banyak memakan korban, perbuatan asusila yang dilakukan sejumlah artis yang membuat kita wajib prihatin akan generasi masa depan bangsa, kenaikan tarif dasar listrik yang semakin mencekik, Jakarta yang semakin tak tertata kemacetannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Untuk dapat keluar dari itu semua, diperlukan sebuah tekad perjuangan kuat, pantang menyerah, dan tak kenal lelah. Syafi’i Ma’arif mengatakan, memang tidak mudah menyelesaikan masalah bangsa ini, namun kita tidak boleh pasrah dan menyerah.

Sebuah kata indah dan bijak mengatakan, “masalah adalah peluang untuk menjadi dewasa”. Memang benar, dari permasalahan, seseorang dapat mengambil pelajaran. Melalu permasalahan pula kita dapat berpikir dan bersikap lebih matang. Dan sejauh pengamatan kami terhadap beberapa orang, ternyata orang yang hidupnya dilingkupi banyak masalah terlihat lebih dewasa dari pada orang yang hidupnya memiliki sedikit masalah. Logikanya mudah, ikan yang hidup di air deras tentu lebih sehat dan kuat dari pada ikan yang hidup di air tenang. Hal tersebut berlaku pula bagi manusia dengan permasalahannya. Oleh karena itu hadapilah masalah dengan wajah ceria pda penuh semangat, sebab itu adalah peluang bagi kita untuk lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih tahan banting guna menghadapi masalah selanjutnya yang mungkin lebih besar. Hanya orang pemurung dan putus asa saja yang akan tersingkir dari eksistensinya. Sementara mereka yang bergairah dalam menghadapi masalah akan terus melesat menaiki anak tangga hingga ke puncak kesuksesan yang diinginkannya. Namun perlu diingat bahwa tidak akan berguna setiap usaha jika tidak dibarengi doa. Usaha dan doa merupakan ciri khas kita sebagai umat Islam.

  



Kepribadian Manusia dalam Al Qur'an

KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN


Oleh : Nasrie K


Manusia diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baiknya, melebihi makhluk yang telah diciptakan sebelumnya. Disamping manusia memiliki kekurangan dan kelemahan yang tidak dapat luput dari salah dan dosa, manusia juga di bekali pola-pola kepribadian, dalam bahasa lainnya manusia memiliki karakteristik (tingkah laku) tertentu yang mungkin timbul darinya dalam situasi-situasi tertentu.

Al-Quran sebagai kitab suci umat muslim di dunia, merupakan mukjizat yang sangat luar biasa, dimana di dalamnya terdapat hal-hal yang terkait dengan apa yang ada di dunia beserta isinya dan apa yang ada di akhirat. Kemukjizatan Al-Quran yang telah tertulis dari sekian abad silam, kini di tengah-tengah kemajuan IPTEK, isi dan pesan yang terdapat dalam Al-Quran tersebut dapat terbukti secara empiris dan ilmiah. Fenomena inilah yang membuktikan kebenaran Al-Quran sebagai kitab suci terdahsyat di alam dunia ini, bukan hanya kaum muslim saja yang mengakui ini, bahkan ilmuan dan peneliti non muslim pun turut mengakui kebenaran Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an klasifikasi manusia, berdasarkan akidahnya terbagi tiga pola :

  1. Orang-orang yang beriman

  2. Orang-orang yang kafir

  3. Orang-orang yang munafik

Masing-masing dari ketiga pola ini mempunyai sifat utama umum yang membedakannya dari pola yang lain. Klasifikasi manusia berdasarkan Al-Qur’an yakni Aqidah. Aqidah ini seiring dengan dengan tujuan-tujuan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai kitab aqidah dan petunjuk. Selain itu, klasifikasi ini juga mengemukakan tentang pentingnya aqidah dalam membentuk kepribadian manusia, membentuk sifat-sifatnya yang khas, dan mengarahkan tingkah lakunya kesuatu arah tertentu. Klasifikasi ini juga mengisyaratkan bahwa faktor utama dalam menilai kepribadian, menurut al-qur’an ialah Aqidah.

Dari ketiga pola kepribadian ini diurakan Al-Qur’an dengan sifat-sifat khusus yang menjadi ciri masing-masing dan yang membedakan anatara satu dangan yang lain. Berikut ini akan dijelaskan sifat-sifat terpenting yang menjadi ciri utama dari masing-masing ketiga pola kepribadian manusia dalam Al-Qur’an tersebut.

1. Orang-orang Beriman

Orang-orang beriman banyak disebut Allah dalam banyak ayat dalam sebagian besar surah Al-Qur’an. Tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan banyak diuraikan dalam aqidah, ibadah, moral, hubungan dengan orang lain, hubungan kekeluargaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, kehidupan praktis, upaya untuk mencari rezki, dan sifat-sifat fisiknya.

Dalam kepribadian seorang Mukmin, sifat-sifat tersebut tidaklah lepas antara satu sama lainnya, saling berinteraksi dan saling menyempurnakan. Orang-orang beriman tidaklah semuanya berada pada pringkat ketakwaan yang sama, tapi berbeda-beda. Sebagaimana di jelaskan dalam QS. Faathir [35]: 32.

Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. QS. Faathir [35]: 3”.

Dalam tafsir al-jalalain diuraikan, bahwa ”orang yang menganiaya dirinya sendiri” ialah orang yang terbatas dalam beramal kebaikan. Sedang orang ”yang pertengahan ” ialah orang yang sebagian besar waktunya untuk berbuat kebaikan. Sementara ”orang yang cepat berbuat kebaikan” ialah orang yang disamping beramal kebaikan juga mengajarkan dan mengajak orang lain untuk beramal kebaikan.

  1. Orang-orang yang kafir

Orang-orang kafir juga banyak dikemukakan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Mereka diberi atribut dengan berbagai sifat utama yang menjadi sosok mereka yang tidak beriman kepada akidah tauhid, kepada para Rasul, kitab-kitab yang diturunkan, hari akhir, kebangkitan kembali, perhitungan, surga, dan neraka. Mereka itu adalah pribadi-pribadi yang statis pemikirannya dan tidak mampu memahami realitas tauhid yang diserukan Islam. Oleh karena itu Al-Quran melukiskan mereka sebagai berikut :

Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat. (Al Baqarah [2.]: 7)

  1. Orang-orang yang munafik

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (An Nisaa'[4]: 145)

Sifat-sifat utama kepribadian orang munafik dalam Al-Quran dapat digolongkan sebagai berikut:

  • Sifat yang berkenaan dengan akidah: mereka tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap akidah tauhid.

  • Sifat-sifat yang berkenaan dengan berbagai ibadah: mereka melaksanakan ibadah hanya karena riya, dan dalam mendirikan sholat mereka bermalas-malasan.

  • Sifat-sifat yang berhubungan dengan sosial: Mereka menyuruh kemungkaran dan mencegah kebajikan.

  • Sifat-sifat moral: Suka mengingkari janji, pembohong, kikir, hedonis dan oportunis, dan suka menuruti hawa nafsu.

  • Sifat-sifat emosional: Mereka membenci dan dengki terhadap kaum Muslimin dan takut terhadap kematian.

  • Sifat-sifat intelektual: Mereka ini peragu dan tidak mampu mengambil suatu keputusan dan ketetapan terhadap akidah tauhid, karena itu Al-Qur’an melukiskan mereka sebagai ”orang-orang yang tertutup hatinya”.

Dari beberapa ciri diatas manakah kepribadian kita sesungguhnya, hanya diri anda sendiri dan Tuhan yang tahu jawabannya. Dari beberapa ciri-ciri kepribadian di atas, merupakan sebagai introspeksi diri (muhasabah) untuk menjadi muslim yang memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya..

Sabtu, 03 Juli 2010

Rendi


Nama Lengkap : Rendi Harison

Tempat Asal     : --

Jurusan             : Pendidikan Agama Islam, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Putra


Nama Lengkap : Yandres Tri Putra

Tempat Asal     : Padang, Sumatera Barat

Jurusan             : Psikologi, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Minan


Nama Lengkap : Ahmad Minan Zuhri

Tempat Asal     : Pati, Jawa Tengah

Jurusan             : Kependidikan Islam, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Kholid


Nama Lengkap : Maulana Kholid

Tempat Asal     : --

Jurusan             : Pendidikan Agama Islam, angk. 05 UIN Sunan Kalijaga

Jalaludin


Nama Lengkap : Jalaludin

Tempat Asal     : Lombok

Jurusan             : Kependidikan Islam angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Anwar


Nama Lengkap : Anwar Pamungkas

Tempat Asal     : Ngawi, Jawa Timur

Jurusan             : Pendidikan Kimia angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Amin Rosyadi


Nama Lengkap : Amin Rosyadi

Tempat Asal     : Klaten

Jurusan             : Kimia angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Kewajiban Berpoligami??

KEWAJIBAN BERPOLIGAMI?

Oleh: Anis Khurnia

Edisi Jumat, 02 Juli 2010


Suatu sore penulis dan teman-teman makan di sebuah resto milik pelaku poligami yang mencanangkan “poligami award”, salah satu menunya adalah juice poligami (juice yang terbuat dari aneka buah yang di-juice jadi satu), kami pun bercanda dengan menu tersebut “laki-laki yang di sini boleh minum juice-nya tapi tidak boleh berpoligami”, salah satu teman yang beragama non Islam pun bertanya “poligami itu kewajiban ya bagi orang Islam?”.

Pertanyaan yang sederhana tapi cukup membuat penulis berpikir kalau yang bertanya adalah orang non Islam pasti karena adanya ketidaktahuan dari ayat tentang poligami, penulis pun menjawab bahwa “poligami itu hukumnya boleh dilakukan dan dibatasi sampai 4 istri tetapi bukan berarti menjadi kewajiban bagi laki-laki ummat Islam seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, dan berhaji. Poligami itu salah satu solusi dalam masalah perkawinan apabila ada kondisi “tertentu” yang menyebabkan keluarga tersebut mengambil “keputusan untuk berpoligami”, yah seperti kita minum juice poligami  bukanlah kewajiban tapi memang ada menu juice poligami, juice guava, juice semangka, dll, kita boleh memilih tetapi tentu harus bertanggung jawab dan menerima resiko dari pilihan kita”.

Penulis pun berharap semoga laki-laki ummat Islam tidak berpikiran seperti teman penulis yang non Islam yang mengira poligami sebagai kewajiban dari ummat Islam.  Lalu bagaimanakah isi dan semangat dari ayat tentang poligami? Poligami diatur dalam Surat Annisa: 3

dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

Di masyarakat dikenal ada 2 model perkawinan yaitu monogami yaitu suatu hubungan timbal balik antara seorang laki-laki dan perempuan serta adanya anak untuk membentuk satu keluarga yang bahagia dan sakinah. Model yang kedua adalah poligami, menurut Black (1990) poligami yaitu perkawinan dengan banyak suami atau istri pada waktu bersamaan. Collins (1987) menyatakan poligami berasal dari kata poly dan gamos berarti banyak perkawinan (many marriages), polygyny (poligini) banyak “istri”.  Polyandry (poliandri) adalah banyak “suami”. Islam melarang poliandri (alasan ketidakjelasan nasab merupakan salah satu hikmah dilarangnya poliandri) dan membolehkan poligini, dengan syarat-syarat tertentu.

Sebelum turun ayat di atas, poligami sudah ada dalam kehidupan masyarakat dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ayat tersebut jelas mengatur dan membatasi poligami sampai empat orang istri saja, dan saat ini hamba sahaya dan perbudakan sudah tidak ada lagi sehingga berpoligami dengan alasan perbudakan sudah tidak relevan lagi. Dengan demikian semangat dari ayat tentang poligami adalah mengatur ummat Islam yang mengambil keputusan untuk berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, berlaku adil disini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan istri dan anaknya seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah dan batiniah. Ayat tersebut jelas mengingatkan bahwa kalau tidak mampu berbuat adil sebaiknya menikah monogami agar tidak berbuat zalim terhadap istri dan anak-anaknya.

Membahas poligami seringkali menimbulkan kontroversi, bahkan beberapa waktu lalu sempat ada demonstrasi yang menentang RUU Perkawinan yang salah satunya isi RUU adalah mengatur tentang nikah siri dan poligami. Penulis sendiri berpendapat bahwa poligami tidak dilarang oleh Islam tetapi juga bukan kewajiban atau dianjurkan oleh Islam karena di ayat tersebut secara komprehensif telah menyebutkan bahwa poligami yang tidak dilakukan secara adil akan mengantarkan pelaku berbuat zalim terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dari segi hukum Islam jelas bahwa poligami “boleh” dengan syarat “adil”, tentunya syarat ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang “berkualifikasi dan terbukti adil” tidak hanya berdasar persepsi pribadi orang tersebut tetapi secara universal “diakui” oleh masyarakat.

Poligami yang tidak dilakukan secara “adil” akan rentan dengan konflik keluarga karena tentunya kehidupan keluarga poligami lebih kompleks dan rumit dibandingkan monogami karena adanya keterlibatan satu suami dengan lebih dari satu istri, sehingga tanggung jawab dan perhatiannya lebih dari satu unit rumah tangga, tentunya tuntutan dari segi waktu, keuangan, pribadi dan anak-anak dari istri-istrinya lebih besar. Ketidakberhasilan berlaku adil akan menimbulkan dampak psikologis terhadap istri dan anak yang akan menimbulkan perceraian, tentulah bukan hal ini yang diharapkan dalam sebuah perkawinan poligami.

Dampak psikologis istri pertama yang dikhianati dengan adanya pihak istri baru akibat poligami yang tidak dilakukan secara baik oleh suami dikemukakan Spring (1997) sebagai berikut:

  1. Istri kehilangan hubungan baik dengan suaminya dan kehilangan “identitas diri” dengan bertanya “siapakah aku sekarang?”. Sebelumnya ia adalah seorang yang dicintai, menarik dan berbagai hal yang positif. Gambaran ini berubah setelah suami menikah lagi. Gambaran diri berubah menjadi negatif, korban kehilangan identitas diri.

  2. Istri bukan lagi seorang yang berarti bagi suaminya. Ia akan sadar bahwa ia bukan satu-satunya orang yang berada di sisi suami yang dapat membahagiakan pasangannya. Harga dirinya terluka, ia merasa kehilangan penghargaan terhadap dirinya.

  3. Istri menjadi seorang yang sensitif, mudah marah, perilakunya sering tidak dapat ia kontrol karena emosinya lebih berperan, ia mudah sedih, sering curiga, tidak seimbang.

  4. Istri kehilangan hubungan dengan orang lain. Ia sekarang lebih menyendiri karena merasa malu dan rendah diri.

Apabila suami yang berpoligami bisa berlaku adil tentunya masalah psikologis istri pertama seperti yang dikemukakan Spring tidak akan terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya keluarga poligami yang bisa hidup berbahagia, kompak dengan keluarga lain dari suaminya, seperti keluarga poligami pemilik resto tempat penulis makan bersama teman-teman.

Dengan demikian poligami adalah pilihan sadar dari suami istri akan model perkawinan yang mereka pilih, bagi suami pilihan berpoligami bukanlah karena nafsunya tetapi karena pilihan tanggung jawab yang lebih besar dari perkawinan yang dia pilih, dan bagi istri-istri yang dipoligami adalah pilihan sadar untuk “berbagi suami” sehingga dia ikhlas dan bisa menerima “madunya” dengan baik seperti menerima dirinya sendiri sebagai istri suaminya.

Akhir dari tulisan ini adalah poligami bukanlah kewajiban tapi pilihan atas model perkawinan. Harus selalu diingat bahwa tujuan perkawinan adalah kebahagiaan seperti tersurat dalam Ar-Ruum  21:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.


Perkawinan bukanlah tentang jatuh cinta, tetapi tentang tinggal selamanya dalam cinta. -Anonim-

Wallahu ’alamu bishowab.

 

 

 

 


Jumat, 25 Juni 2010

Hati yang Damai

Oleh : Amin Rosyadi

Edisi 25 juni 2010

Dunia semakin lama semakin tua, mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menyebut keadaan dunia yang kita tempati sekarang ini. Orang tua adalah orang yang sudah makan banyak asam garamnya kehidupan, banyak pengalaman dan berbagai peristiwa yang dapat dijadikan guru dalam setiap langkah yang akan dilaluinya. Bumi kita yang terbentuk jutaan tahun yang lalu dan sudah banyak pula orang yang menempatinya, apakah bumi kita merasa bosan? Kehadiran kita di dunia dengan izin Allah serta diciptakanNya bumi untuk tempat tinggal manusia merupakan ketentuan Allah yang sudah disepakati. Perlu kita lihat lagi bahwasanya bumi yang kita tempati kalau dia bisa berbicara tentu dia akan mengeluh dan mengerang kesakitan, terhadap apa yang sudah diperbuat manusia. Banyak hutan digunduli, pertambangan yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem, pencemaran lingkungan sampai pertumpahan darah yang sering dilakukan umat manusia. Bumi adalah mahluk Allah yang sangat menuruti ketentuan dan peraturan yang sudah dibuat, bila orang yang awam berkata bahwa bumi adalah mengikuti aturan alam dengan adanya akibat dari rotasi yang berputar pada sumbunya sendiri yang berakibat terjadinya siang dan malam juga adanya revolusi bumi yaitu berputarnya dalam mengelilingi matahari yang mengakibatkan terjadinya pergantian tahun, serta berbagai fenomena alam yang kita alami, tentu kita sebagai seorang muslim tentunya lebih yakin bahwasanya keteraturan bumi tersebut adalah karena perintah dari Allah yang menunjukkan Maha besar dan kuasaNya. Sudah saatnya kita sebagai sesama mahluk Allah yang beda peran untuk saling menyayangi, menghargai dan menjaga keharmonisan diantara kita.

Penggunaan senjata nuklir untuk menghancurkan suatu negara dengan kekerasan adalah suatu bentuk penjajahan secara fisik yang akan merugikan salah satu pihak dan menjadikan pihak yang kuat merasa semakin bangga karena nafsu serakahnya dapat terlampiaskan. Agresi yang dilakukan oleh negara Israel dalam menduduki wilayah Palestina adalah suatu bentuk penjajahan, hal itu diperparah dengan blokade yang dilakukan oleh Israel terhadap wilayah Palestina sehingga rakyat Palestina terisolasi dan sangat kekurangan bahan makanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penembakan dan penahanan kapal bantuan yang memuat berbagai jenis bahan pangan dan kebutuhan rakyat Palestina yang dilakukan oleh tentara Israel sudah melukai dan mencoreng nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya hal itu tidak boleh lagi dilakukan pada tahun 2010 ini dimana hal itu sudah diperjuangkan sejak dulu dimana orang-orangnya belum banyak yang berilmu pengetehuan. HAM yang didengang- dengungkan bangsa barat dan diagung-agungkan atas nama demokrasi ternyata tidak ada harganya dihadapan kucing yang kelaparan. Begitu juga dengan berbagai konflik di belahan dunia lain seperti yang terjadi di semenanjung Korea, antara Korea Selatan dan Korea Utara yang saling ancam akan melakukan konfrontasi dengan senjata nuklir. Ketika mediasi di meja perundingan tidak berjalan sesuai yang diharapkan maka riak kecil pun akan sangat mempermudah dalam memancing peperangan. Dunia sekali lagi menjadi tidak tenang, bukan masalah kita masyarakat Indonesia yang notabenya berada jauh dari negara- negara konflik tersebut diatas lantas kita bersikap acuh bahkan seakan tidak mau tahu, tetapi rasa kemanusiaan yang kita miliki serta pengalaman masa lalu sebagai bangsa yang terjajah yang membuat kita tidak boleh merasa acuh bahkan tidak mau tahu.

Bukan hanya atas nama kemanusiaan yang mendorong kita untuk ikut prihatin dan berperan aktif, tetapi dalam ajaran Islam juga ada yang namanya prinsip tauhid. Menurut banyak pakar tauhid (keesaan Allah) merupakan suatu prinsip lengkap yang menembus seluruh dimensi serta mengatur seluruh aktivitas mahluk. Dari tauhid lahir berbagai ajaran kesatuan yang mengitari prinsip tersebut, misalnya kesatuan alam raya, kehidupan, agama, ilmu kebenaran, kepribadian manusia dan masih banyak lainnya. Kemudian dari masing- masing itu lahir pula tuntunan, yang semua beredar pada prinsip tauhid. Perdamaian misalnya adalah salah satu tuntunan agama yang terpenting, lahir antara lain dari pandangan Islam tentang kesatuan alam raya. Sejak dari bagian yang terkecil sampai dengan wujud yang paling agung merupakan suatu kesatuan: benda tak bernyawa, tumbuhan yang layu maupun yang segar, binatang melata, manusia bahkan malaikat-malaikat semuanya dalam kesatuan. Semuanya diatur dan mengarah pada satu tujuan yakni hakikat tauhid. Seperti disebutkan dalam ayat Al- Quran:

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S.Al- Anfal: 61)

Perdamaian dunia adalah dambaan semua umat manusia dan perlu dilakukan upaya- upaya untuk mewujudkan hal tersebut dan tidak hanya upaya dan kerja keras yang perlu kita lakukan tetapi dengan bantuan doa dan kepasrahan kita kepada Allah tentu akan sangat membantu kita mewujudkannya. Tetapi sebelum itu perlu juga kita menyemaikan keadaan damai itu dalam hati kita, sebagai seorang muslim yang senantiasa kehidupan kita dipenuhi dengan berbagai ketentuan yang harus dijalankan dan banyak hal yang harus kita jauhi bahkan ditinggalkan tentu akan membentuk kepribadian kita. Damainya hati dari setiap muslim akan membuat hidupnya merasa tenang dan akan ikhlas dalam menghadapi semua kemungkinan cobaan hidup yang pasti akan kita jumpai. Hati yang damai disetiap pemimpin dunia dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan serta penjagaan yang kuat akan membuat setiap pemimpin dunia enggan untuk melakukan peperangan dengan dalih apapun.

Apakah tidak lebih baik jika kita hidup berdampingan? Dengan beraneka ragamnya latar belakang:kelompok, kesenjangan sosial, serta sekat-sekat primordialisme menjadikan kita berpotensi senantiasa bertindak zalim. Beraneka hal perbedaan sejatinya merupakan khasanah dari Allah SWT, untuk menunjukkan betapa Maha Kuasa dan Maha Besarnya DIA menciptakan ini semua. Homo homini lupus, manusia yang satu adalah bagai serigala bagi manusia lainnya. Mungkin ini hanya sebuah gambaran bagaimana kejamnya manusia yang selalu berupaya untuk memupuk kekayaan, menjadikan nafsu serakah sebagai tuannya meski saling bunuh. Setiap individu manusia selalu berkeinginan untuk hidup secara aman dan sejahtera. Namun permasalahan hidup yang semakin kompleks menjadikan manusia terkadang lupa akan aturan-aturan agama yang sudah diajarkan oleh masing- masing Nabinya karena tidak ada satu agama pun yang menganjurkan para pemeluknya untuk melakukan tindak kesewenang-wenangan bagi manusia lainnya, terlebih juga terhadap lingkungan yang senantiasa menjadi obyek paling enak untuk dikebiri. Maksud penulis disini adalah bagaimana kita sebagai seorang muslim terutama, dimana Nabi kita juga mengajarkan untuk senantiasa setiap muslim berbuat baik kepada sesamanya, kepada seluruh umat manusia baik itu berbeda paham, beda agama, karena sejatinya Islam hadir adalah untuk kebaikan seluruh alam, Islam adalah Rokhmatan Lil’alamin. Disinilah kita berupaya untuk meninggalkan sekat-sekat primordialisme, kesenjangan sosial, kesukuan, warna kulit untuk membangun dunia yang tenteram dan aman juga hak setiap manusia untuk hidup secara layak, memiliki sesuatu dan berorganisasi atau berkelompok untuk membangun sebuah masyarakat pembelajar.

Toleransi atau sikap saling menghargai adalah kata kunci yang bisa kita jadikan pegangan untuk membangun sebuah masyarakat dunia yang aman dan nyaman untuk dihuni. Karena toleransi ini bisa berarti luas sampai sikap para pemimpin negara, terutama negara-negara maju untuk tidak bertindak zalim kepada negara-negara lemah yang sedang berkembang. Hati yang selalu diberikan santapan rohani dan visi kemanusiaan yang selalu menjadi dasar bagi para pemimpin atau bahkan kita sebagai seorang individu manusia yang senantiasa belajar tentang kedamaian hidup. Perdamaian di dunia yang melibatkan sejumlah negara dengan berbagai kepentingan yang selalu ikut bermain, haruslah dimulai dari kita sendiri, dari hati kita sebagai umat manusia yang mempunyai fitrah untuk hidup damai. Jika menjadi musuh sangat sulit untuk dilakukan maka bukankah lebih baik kita jadikan teman saja. Semoga perdamaian dunia terwujud dari hati dan rumah kita masing-masing.



Jumat, 18 Juni 2010

Etika Memberi Nasehat

Memberi NasehatTermasuk Sifat Nabi”

Oleh : Nasrie K


Ungkapan ini sekiranya dapat memotivasi kita sebagai umat muslim untuk saling mengingatkan, berlomba-lomba dalam kebaikan. Manusia hidup di muka bumi ini tak dapat luput dari sikap salah dan dosa, namun untuk meringankan dan meminimalisir sikap tersebut perlunya ada nasehat dan penyadaran dari sesama manusia (Muslim), agar saudara-saudara kita tidak berlarut-ralut dalam kesalahan dan dosa. Namun dalam memberikan nasehat tesebut terdapat etika yang memang harus dipahami oleh sang pemberi nasehat, agar tidak terjadi hal-hal yang bersifat salah prasangka dan salah paham. Allah SWT, telah berfirman dalam QS.. Al A'raaf : 68 ”Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan Aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu".

Nasehat memiliki tempat yang paling penting dalam agama Islam. Memberi nasehat dapat memantapkan persaudaraan di antara umat Islam. Terlebih, bila nasehat yang disampaikan seorang muslim semata-mata hanya karena Allah dan muncul sebagai wujud kasih sayang terhadap saudaranya. Tak heran jika Nabi Muhammad SAW menjadikan nasehat sebagai tiang agama sekaligus barometer dalam melaksanakan agama. Tamim ad-Dari RA meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda, ” Agama itu nasihat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syekh Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedi Akhlak Muhammad SAW, mengungkapkan, secara bahasa nasehat diambil dari kata an-nashihah. Ibnu Manzur menjelaskan, nashahasy-syai berarti ”sesuatu itu murni”. An-Nashih artinya sesuatu yang murni dari amal dan lainnya. Sedangkan an-Nush artinya ikhlas dan jujur di dalam musyawarah dan amal, menurut Ibnu Atsir, nasehat adalah kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan keinginan yang baik bagi orang yang dinasihati.

Nasehat adalah mengajak orang lain untuk melaksanakan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan melarang mengerjakan sesuatu yang mengandung kerusakan, papar ahli bahasa dari abad ke-11 M, Abu Bakr Abdul Qahir ibnu Abdur-Rahman al-jurjan. Nasehat itu tentunya mencakup Allah SWT, rosulnya, kitabnya, para pemimpin umat dan kaum muslim secara umum. Sebuah nasehat haruslah disampaikan sebagai bentuk rasa cinta yang murni kepada orang lain, tentunya lewat pesan-pesan yang mengantarkan orang lain menuju kemaslahatan. Menurut Dr. Muhammad al-Hasyimi, sekecil apapun nasehat yang disampaikan bernilai mulia di hadapan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda: “Agama adalah ketulusan (nashihah)”. Kami bertanya, “kepada siapa?” Beliau bersabda, “kepada Allah, Kitabnya, Rasulnya, para pemimpin Muslim dan Masyarakat umumnya”. (HR. Muslim). Menurut sykh al-Mishri, memberi nasehat termasuk sifat para Nabi. Sebab para Nabi tak pernah bosan untuk memberi nasehat kepada kaumnya untuk beriman. Agar saat menyampaikan nasehat menuju kebenaran dapat tersampaikan dengan baik, seorang muslim perlu memperhatikan etika memberi nasehat kepada orang di sekelilingnya. Lantas apa saja etika memberi nasehat itu? Syekh al-Mishri mengungkapkan ada beberapa etika dalam memberi nasehat kepada orang lain:

1. Nasehat tulus hanya karena Allah SWT. Pemberi nasehat hanya mengharap ridha Allah dan balasan di akhirat. Ia menyampaikan nasehat bukan karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi, riya dan sum’ah (menceritakan kebaikan kepada orang lain).

2. Berdasarkan ilmu. Memberi nasehat dengan ilmu merupakan sebuah keharusan dalam arti menguasai materi yang akan dinasehatkan.

3. Berhias diri dengan akhlak lemah lembut,. Pemberi nasehat wajib memiliki akhlak lemah lembut dan santun dalam menyampaikan nasihat. Hal ini diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Harun AS, saat berdakwah kepada firaun.

(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan; Maka kamu tinggal beberapa tahun diantara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan, Hai Musa”. (QS. Thaahaa: 40).

Isi kandungan ayat diatas “Maka berbicaralah kamu kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”.

4. Memilih cara yang tepat. Cara memberi nasehat berbeda-beda sesuai situasi, kondisi, dan kepribadian seseorang. Dalam banyak hal manusia justru membutuhkan nasehat melalui dari seorang figur. Menasehati anak-anak berbeda dengan dengan menasehati orang dewasa.

5. Tidak bertujuan mencela atau menyebar keburukan. Firman Allah SWT :

(orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (QS. At Taubah [9]: 79)

6. Nasehat meliputi urusan agama dan akhirat, yakni menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasulnya serta meninggalkan apa yang dilarangnya.

7. Menasehati secara rahasia, hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika pertama kali berdakwah, agar tidak menimbulkan hal-hal yang menghambat perjuangan dakwah (Memberi nasehat) selanjutnya.

8. Seorang pemberi nasehat wajib bersabar bila orang itu tidak bersedia menerima nasihatnya. Sebagaimana Firman Allah SWT, dalam QS. Al 'Ashr: 3 : “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.

Syekh al-Mishri, mengingatkan bahwa nasehat yang paling utama adalah nasehat untuk diri sendiri. Mereka yang menipu dirinya sendiri, tidak bisa diharapkan dapat menasehati orang lain. Allah SWT mencela orang-orang yang memerintahkan kebaikan kepada orang lain, namun dia sendiri tidak melaksanakannya. Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash Shaff [61] : 2-3).

Nasehatyang disampaikan dengan tulus, dapat berpengaruh besar terhadap diri seseorang dan mendorongnya untuk melaksanakan nasehat yang diterimanya. Pada akhirnya nasehat atau wasiat akan menjadi bagian taqwa, mengingat kebenaran dan berfikir.

Pahala yang sangat luar biasa di berikan Allah SWT kepada seseorang yang gemar memberikan nasehat (berdakwah) kepada sesamanya, yakni berupa surga di akhirat kelak. Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al Ahzab [33]: 71 ’Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.'’ Dan QS. Ali 'Imran [3]: 185 ‘’Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung.'’ (QS. 3:185).

Tujuan tertinggi dari setiap muslim dalam meniti hidup dan kehidupannya adalah meraih kemenangan besar di akhirat kelak dengan mendapatkan surga Allah yang penuh dengan kenikmatan tiada tara dan terselamatkan dari siksa neraka yang sangat pedih. Kemenangan besar yang sangat ditentukan dengan kadar ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Senin, 19 April 2010

Semua Umat Beragama Dapat Pahala

Semua “Umat Beragama” Mendapat Pahala Tuhan

 

(Nugroho. S.Th.I[1])

 

 

A. Pendahuluan

            Agama yang penulis maksud dalam judul ini adalah agama samawi atau agama yang telah diturunkan oleh Tuhan dan agama yang memerintahkan kepada penganutnya menyembah hanya kepada Allah yang kita kenal dengan istilah monoteisme atau tauhid. Umat beragama yang mendapat pahala tentunya adalah umat beragama yang melaksanakan semua apa yang telah diperintahkan dalam agama tersebut. Agama yang termasuk kedalam agama samawi ini adalah Islam, Yahudi dan Nasrani.

Permasalahan tentang  umat beragama mendapat atau tidaknya umat pahala disini adalah dalam tataran sudut pandang  informasi dalam kitab suci yang mana kitab suci yang penulis maksudkan adalah Alquran yaitu dalam surat albaqarah ayat 62. Dengan  judul Semua” Umat Beragama” Mendapat pahala dari Tuhan  disini  penulis inginkan dan harapkan yaitu mengajak “umat beragama” terutama Islam (bukan berarti selain islam tidak) untuk melakukan dan mengadakan dialog baik dalam intern umat baeragama maupun ekstern,  agar tercapai kedamaian diantara kehidupan sesama umat beragama karena pada dasarnya semua umat manusia yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat kebajikan semua akan mendapat pahala dari Tuhan dan mendapatkan kedamaian.

            Dalam tumbuh kembangnya kehidupan manusia selalu diikuti oleh berkembangnya pemahaman keagamaan dan pada saat itu pula selalu diiringi dengan konflik yang disebabkan salah satunya oleh agama[2], dan memang agama menurut Burhanuddin Daya merupakan modal keyakinan yang memiliki sumber elan fital rohani yang sangat besar arti dan pengaruhnya dalam pembentukan alam pikir dan sikap hidup manusia, dibanding dengan sumber-sumber keyakinan lain.[3] Seperti partai politik, sehingga agama dimanfaatkan sebagai usaha politik, karena sebab ini pula dalam masyarakat religius, segala program yang dilancarkan melalui agama akan merupakan jalan yang paling pendek dan mulus untuk ditempuh dan sebaliknya setiap langkah atau program yang mengabaikan agama akan sama saja dengan menegakkan benang basah.

Seringkali agama berpotensi sebagai sumber konflik bagi kehidupan manusia baik interumat beragama, antar umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah hal ini dapat kita lihat dari sepanjang sejarah kehidupan manusia baik di luar negeri maupun di Indonesia ini dikarenakan kurangnya toleransi, yang salah satunya disebabkan kurangnya sikap toleransi yang disebabkan kurangnya interaksi sesama umat beragama, dimana interaksi ini  salah satunya dapat diwujudkan dalam  kegiatan dialog.[4]Dengan makalah ini penulis akan mencoba mendialogkan tema agama dengan melihat dari persamaannya yaitu dari sisi balasan pahala dari Tuhan yang akan diperoleh masing-masing agama dari sudut pandang Alquran yaitu surat albaqrah ayat 62.

 

B. Balasan Pahala Pada Setiap Umat Beragama

 

Agama Yahudi. Kristen dan Islam adalah agama yang serumpun dan mepunyai satu asal. Ketiganya muncul ditimur tengah.[5] Yang pertaa kali datang adalah agama Yahudi, dengan nabi Ibrahim dan nabi Musa sebagai pembina utama. Kemudian Kristen dengan Yesus Kristus sebagai pembawa dan selanjutnya Islam dengan Nabi Muhamad Saw, sebagai rasul.dalam sejarah, ketiganya mempunyai perkembangan yang berlainan. Agama Yahudi dan Kristen berkembang di barat, sedangkan Islam berkembang di dunia timur.

Setelah agama kristen lahir, agama baru ini tidak dapat diterima oleh pemeluk-pemeluk agama Yahudi, dan terjadilah pertentangan antara kedua agama tersebut, yang pengaruhnya masih terasa sampai dewasa ini. Demikian pula setelah agama Islam timbul, terjadipula pertentangan antara peeluk agama Yahudi dan pemeluk agama baru itu. Sehingga konflik tersebut berkelanjutan hingga sekarang .

Dan ironosnya, ketika seumua agama, yang oleh masing-masing penganutnya diyakini sebagai dimensi yang paling suci dan menyebabkan hidup serta kehidupan pribadi serta kelompok manusia menjadi sakral ternyata dalam perjalanan sejarahnya, sering terlibat sekandal hubungan konflik antara satu sama lain. Tiga agama sekandung Yahudi, Nasrani dan Islam yang berasal dari satu sulbi Ibrahim telah menodai lukisan–lukisan sejarah perkembangn hubungannya dengan tetesan darah para martir dan suhada di masing-masing pihak.[6]

Pada kondisi diatas kita sebagai umat dari salah satu agama tersebut ikut prihatin dan seharusnya kita mempunyai tanggung jawab terhadap persoalan diatas terlepas dari sunatullah yang telah diberikan kepada manusia untuk tidak menjadi satu umat[7] tentu kita tetap saling menghormati dan menciptakan kedamaian karena kita pada dasarnya adalah khalifah[8] yang bertugas menjaga dan menciptakan kedamaian di bumi. Walaupun Menurut Abdulaziz Sachedina, penegasan akan kebenaran keselamatan yang eksklusif dipandang wajar dan merupakan suatu sarana yang diperlukan bagi suatu klompok untuk menunjukkan identitas diri dalam rangka menghadapi klaim kebenaran mutlak yang lain.[9]

Sebagai orang muslim tentunya selalu berbuat baik dan menciptakan perdaaian karena ini menjadi salah satu syaratnya, menurut Nur Kholik Ridwan orang yang disebut muslim, mengikuti Ibrahim, atau agama yang diperintahkan Tuhan pada manusia, ada dalam berbuat kebajikan pada orang-orang yang tertindas untuk membelanya  syarat mutlaknya dan terdasar orang disebut muslim adalah berbuat kebajikan bahkan menjadi syarat hamba-hamba Tuhan yang tidak dikategorikan “pendusta agama oleh karena itu membebaskan yang tertindas harus dibayar oleh mereka yang mengaku beragama terutama orang muslim.[10]

Alquran sebagi kitab suci agama Islam telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia untuk memecahkan salah satu masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagaman manusia, Alquran menyebut pemeluk agama Islam sebagai “umatan wasatan”(umat yang berada ditengah-tengah)menurut Amin abdullah, jika ayat di atas dilihat dalam kontek pluralitas kehidupan keberagaman manusia seyogyanya untuk tidak “berlebih-lebihan”dalam segala hal termasuk “berlebih-lebihan dalam persoalan kehidupan keberagamaan.[11]

   Semua agama yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah agama yang pada mulanya adalah agama yang diturunkan oleh Allah dengan diutusnya rasul yang mana rasul itu bersaudara sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw yang artinya:

Di antara umat manusia, Aku lebih berhak atas Isa putra maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah bersaudara tunggal bapak, ibu mereka berbeda-beda, aka agama mereka satu.(H.R. Bukhori).

Alah telah menurunkan agama tauhid kepada manusia disertai dengan rasul pembawanya yaitu sejak Nabi Ibrahim sampai dengan Nabi Muhammad saw. Walaupun syariahnya berbeda-beda namun agama para rosul itu satu dan sama yaitu pada dasarnya mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Lailahaillallah dan perlawanan kepada penindasan dan kekerasan. Tuhan tidak memaksa kepada manusia untuk beragama.

Ibnu Taymiyah[12] dalam kitab Iqtidla Al-Shirath Al-Mustaqim menegaskan,  bahwa agama semua nabi adalah sama dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda sesuai dengan zamannya masing-masing nabi itu dan dan asal usul agama itu adalah Islam, yaitu agama pasrah kepada Tuhan itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam.

 Allah sendiri telah berjanji kepada siapa saja yang beriman kepadaNya dan hari akhir serta berbuat kebajikan semuanya akan mendapat pahala. Sebagai mana firman Allah dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat:62 sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang shabiin, siapa saja(diantara mereka ) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.[13]

            Menurut Hasbi Ash Shiddieqi dalam tafsir An Nur[14] bahwa Orang beriman yaitu segala manusia yang beriman kepada Rasuullulah dan menerima segala kebenaran yang di datangkan oleh Rasullulah dari Allah swt, orang-orang Yahudi yaitu semua orang yang memeluk agama Yahudi, yang disyariatkan oleh Nabi Musa. Orang-orang Nasrani yaitu semua mereka yang memeluk agama yang di bawa oleh Nabi Isa, atau segala mereka yang membangsakan  diri kepada Isa bin Maryam. Orang-orang Sabiin yaitu segala kaum yang mengakui keesaan Allah, akan tetapi beri’tikad juga bahwa binatang-binatang dapat memberi kekuasaan pula dan mereka mengakui sebagian dari pada nabi-nabi. Orang-orang sabiin ada yang berpendapat nama golongan yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu. Pahala yaitu kemenangan dan kebajikan dunia akhirat.

Menurut Nurchalis Madjid[15] tawakal adalah salah satu rangkaian iman, tawakal yang menurut ejaan aslinya “tawakkul”yaitu “bersandar” dan mempercayakan diri, orang yang beriman  memiliki keyakinan bahwa dia senantiasa dalam perlindungan Allah sehingga mengakibatkan rasa mantap dan percaya kepada diri sendiri, orang yang beriman adalah orang kuat hati dan jiwanya sehingga tidak gentar dalam menghadapi hidupnya dan tidak mudah putus asa.

Menurut gerakan pluralisme ayat 62 dari surat Al-Baqarah merupakan pengakuan Alquran bahwa agama Yahudi, Nasrani, dan Shabii adalah benar karena mereka mendapat janji Allah untuk memperoleh pahala, selama mereka mau beramal shalih jadi hal yang pokok bagi penganut setiap agama adalah amal shalihnya untuk memperoleh pahala dari Allah bukan karena agamanya.[16]

Ayat diatas menurut hemat penulis merupakan petunjuk bagi kita umat beragama untuk saling berlomba-lomba untuk menciptakan kedamaian dan mencari pahala dari Tuhan bukan dijadikan sebuah alasan untuk membenar salahkan agama orang lain yang terjadi pada kondisi umat beragama pada saat ini, apa bila ini yang terjadi maka konflik antar agama bahkan dalam agama yang satu akan tibul peperangan sinyalemen ini sudah terjadi di negara kita misalnya ahmadiah, amrozi cs konflik di ambon dll bahkan sudah terjadi sejak dulu baik di barat maupun di timur. Hubungan konflik, saling curiga, kebencian dan bentuk-bentuk hubungan negatif lainnya muncul dimana-mana hingga dewasa ini dan menurut ramalan pertarungan antara dunia Islam dengan dunia Kristen akan semakin mendominasi konflik dunia global.[17]

Oleh karena itu dalam memahami ajaran agama diperlukan keterbukaan dan menurut Ahad Najib Burhani, keterbukaan hanya dapat terwujud dengan pengakuan adanya kemajemukan umat manusia atau pluralisme.[18] Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dan beraneka ragam agar mereka bekerja sama dan manusia seharusnya menghargai perbedaan dan toleran terhadap perbedaan itu dan jika ada sekelompok umat beragama atau masyarakat yang mengakui sebagai pemilik utlak kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain atas namaTuhan, aka tindakan tersebut merupakan sejenis tirani dan awal peperangan dengan Tuhan. Lagi pula Allah sendiri tidak pernah memaksakan kepada manusia untuk memeluk suatu agama sebagai mana firman Allah

Artinya: Tidak ada paksaan dala menganut agama Islam sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh, dia telah berpegang tegguh pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar maha mengetahui.[19]

Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah[20] karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan yang salah . dengan kata lain, manusia kini dianggap sudah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu dipaksa-paksa seperti seorang yang belum dewasa.

Terlepas bagaimana kondisi keaslian ajaranya  ada perubahan atau campur tangan manusia atau tidak dan ada penyipangan atau tidak dalam ajaran yang diterima oleh para rasul masing-masing  agama yaitu Yahudi, dan Kristen sekarang tentu kita sebagai salah satu dari agama yang sama-sama disebut oleh Allah sebagai umat yang sama-sama perpeluang mendapat pahala tentunya kita harus saling menghormati dan mengakui kemajemukan sesama pemeluk agama agar tercapai kedamaian yang dapat diwujudkan saling memahami ajaran masing-masing yaitu dapat ditempuh dengan jalan dialog karena menurut hemat penulis dengan menawarkan tema-tema kesamaan dalam setiap agama selain bisa menciptakan kedamain kita bisa mengingatkan apabila ada penyimpangan.

Kesimpulan

Semua umat agama Yahudi, Nasrani dan Islam semuanya akan mendapat pahala(kemenangan dan kebajikan di dunia dan akhirat) dan kedamaian dari Tuhan apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat baik.

Tema-tema persamaan dan perbedaan yang ada dalam masing-masing agama dapat dijadikan tema dalam dialog antar agama. Dan Keterbukaan serta toleransi antar umat beragama sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan perdamain.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdulaziz Sachedina, dkk. Agama untuk manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

 

Ahad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membogkar Doktrin yang Membantu, Kompas, Jakarta, 2001.

 

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, 2004.

 

Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, Mataram-Minang Lintas Budaya, Yogyakarta, 2004.

 

__________, Makalah Relasional Agama-Agama dan Dialog Lintas Agama dan Budaya, 2008.

 

Departeen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, CV.Diponegoro, Bandung, 2007.

 

Hasbi Ash Shiddieqi, Tafsir Al Quranul majid “An Nur”, Juz I, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1965.

 

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998.

 

Muhammad Thalib Anggapan Semua Agama Benar Dalam Sorotan Alquran, Menara Kudus, Jogjakarta, 2003.

 

Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994.

 

Nur Kholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama, Naskah Nusantara, Yogjakarta, 2003.

 

Said Agil Husin Al munawar , Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta

Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998.

 

Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, Gama Gemilang, Semarang, 2006.

 

Yusuf Al-Qaradhawi, Kita dan Barat, Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2007.



[1] Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Studi Agama Dan Resolusi konflik tahun 2008/2009.

 

[2] Konflik ini biasanya disebabkan pemahaman terhadap interpretasi teks suci keagamaan karena masing tokoh agama terdapat perbedaan.

[3] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, Mataram-Minang Lintas Budaya, Yogyakarta, 2004, hlm. 3.

[4] Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki asing-masing pihak,lihat dalam Said Agil Husin Al munawar , Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat Press, Jakarta, hlm. 41.

[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, cet.5, 1998, hal . 276.

[6] Burhanuddin Daya, Makalah Relasional Agama-Agama dan Dialog Lintas Agama dan Budaya,hlm. 6.

[7]Al Quran Surah An-Nahl ayat 16 artinya “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kau satu umat, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang kamu kerjakan.

[8] Al Quran surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya” Dan ingatlah ketika Tuhan mu Berfirman kepada malaikat “Aku hendak menciptakan kalifah di Bumi”.

[9] Abdulaziz Sachedina, dkk. Agama Untuk Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 1-2.

[10] Nur Kholik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama, Naskah Nusantara, Yogyakarta, 2003, hlm. 12.

[11]Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 9.

[12] Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994,, hlm 2-3.

[13] Departeen Agama RI, Al Quran dan Terjemah, CV.Diponegoro, Bandung,2007, hlm 10.

[14] Hasbi Ash Shiddieqi, Tafsir Al Quranul majid “An Nur”, Juz I, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1965, hlm, 173-176.

[15] Nurchalis Madjid, Op.cit hlm 12-16

[16] Muhammad Thalib Anggapan Semua Agama Benar Dalam Sorotan Alquran, Menara Kudus, Jogjakarta, 2003. hlm. 130,. 

[17] Burhanuddin Daya, Makalah, Op.cit, hlm.16.

[18] Ahad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membogkar Doktrin yang Membantu ,Kopas, Jakarta, 2001, hlm. 5.

[19] Alquran Surah Al Baqarah ayat .256.

[20] Nurchalis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Op.cit, 1994, hlm 218.