Kamis, 12 Agustus 2010

Ramadhan Mulia = Mukmin Mulia + Muttaqin Mulia

Ramadhan Mulia = Mukmin Mulia + Muttaqin  Mulia

Oleh: Muhammad Husain Aziz


Yaa ayyuhal ladzina amanu, demikian ayat 183 surat al-Baqarah menyeru, wahai orang-orang yang beriman. Siapakah seorang mukmin yang dimaksud? Mukmin adalah seseorang yang pandangannya melampaui penjara-penjara material, dan ketika dia melihat manusia yang muncul dari alam, dia tidak melihatnya terbatas pada alam yang nyata saja. Sebaliknya, dia melihat manusia sebagai sesuatu yang lebih besar dari keseluruhan alam, karena alam bersifat terbatas, sedangkan manusia, pada satu sisi, tidak terbatas dan abadi1.

Manusia yang beriman mempunyai kelebihan mutlak, mempunyai pandangan yang jauh. Visi hidup yang jernih dan menjernihkan. Misi hidup yang bersih dan membersihkan. Seorang mukmin tidak akan sibuk dan hanya disibukkan oleh sesuatu hal yang remeh, berupa dunia dan alam yang terbatas ini -penjara-penjara material-. Akan tetapi seorang mukmin akan melihat jauh di atas ini semua, yang melampaui ini semua. Mereka melihat sesuatu yang disebut dengan after life, pasca kehidupan ini. Akhirat, yang dimana surga dan neraka merupakan tempat yang kekal abadi untuk selama-lamanya. Surga akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya, neraka pun akan abadi untuk seorang manusia yang menempatinya. Olehnya manusia dalam keadaan tidak terbatas dan abadi.

Maka menjadi mukmin pun kita harus mulia, dan bagaimanakah mukmin yang mulia itu. Seorang mukmin yang menjalani penuh kewajiban-kewajibannya sebagaimana wajibnya seorang mukallaf. Puasa adalah salah satu halnya.

Pada ayat seterusnya dari ayat di atas disebutkan, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, la`allakum tattaqun. Bertaqwa adalah buah dari puasa yang disebutkan. Sebuah maqam atau kedudukan di mata Allah SWT yang tinggi tentunya. Karena tidak semua orang beriman mendapatkan predikat bertaqwa. Masih banyak sekali kondisi, seorang yang mengaku mukmin, beriman, akan tetapi meninggalkan kewajibannya. Memang tidak mampu kita menyebutkan hidung, bahwa dia orang yang beriman, namun tidak bertaqwa. Akan tetapi cukuplah kita menengok bagaimana realitas kondisi sosial masyarakat kita. Cukuplah kita mendengar banyak berita yang menyebutkan bahwa negara kita menjadi penyumbang terbesar koruptor. Cukuplah kita mendengar berita bahwa ketidakadilan merajalela di setiap lini kehidupan masyarakat kita. Semua ini adalah indikasi bahwa hampir dari kita semua hanya mampu menjadi orang yang katanya beriman, akan tetapi masih belum mampu menjadi orang yang bertaqwa.

Apa arti menjadi taqwa? Taqwa adalah menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya. Bila puasa itu wajib, maka kita menjalaninya adalah buah dari sebuah taqwa, dan kasih sayang atau sering kita sebut rahmat; sebagaimana buah puasa kita berupa empati terhadap mereka yang berada digaris kemiskinan dan ketidakberdayaan pun merupakan sebuah kewajiban kita yang berpuasa. Maka semua hal yang menjadi larangan-Nya, berupa korupsi, nepotism, kolusi, semua hal yang merugikan ekonomi, politik kotor, dan hal lain yang menyangkut semua larangan, pastinya akan kita jauhi. Itulah sebenar-benarnya taqwa.

Dalam sebuah Munajat Sya`ban, sebuah munajat yang dihadapkan pada Allah SWT dalam menuju perjalanan Ramadhan, dan Sya`ban adalah bulan sebelum Ramadhan; penggalan doa itu disebutkan sebagaimana berikut:

Ya Allah, anugerahilah aku perpisahan total dari selain Engkau, dan keterikatan pada-Mu, dan cerahkanlah pandangan hatiku dengan pandangan yang menatap-Mu, sehingga terkoyaklah hijab cahaya dan tercapailah mata air sumber kecemerlangan, dan jiwa-jiwa kami tercekam oleh cemerlangnya kesucian-Mu. -Ketika manusia mengarahkan dirinya kepada selain Tuhan, hijab kegelapan dan hijab cahaya pun menyelimutinya. Segala macam urusan dunia yang menyebabkan manusia mengarahkan perhatiannya kepada dunia dan melupakan Tuhan Yang Maha Kuasa akan menciptakan hijab kegelapan; sesungguhnyalah, seluruh dunia wadag akan menciptakan serangkaian hijab itu. Tapi, jika urusan-urusan dunia membawa manusia untuk mengarahkan dirinya kepada realitas dan hari akhir -yaitu dunia yang akan memuliakan manusia- hijab kegelapan berubah menjadi hijab cahaya. Pemisahan total dari dunia ini tercapai jika seluruh hijab, baik hijab kegelapan maupun hijab cahaya, telah disingkapkan atau dikoyakkan; dan memberi kesempatan kepada manusia untuk memasuki tempat persinggahan ilahiah, yaitu ‘mata air kecemerlangan’2-

Sebuah doa yang mengajarkan kepasrahan total dan bersih. Kepasrahan suci nan menyegarkan batin. Bahwa bulan Ramadhan yang dituju adalah bulan yang di sana hilang semua keinginan maupun tujuan selain Allah SWT. Semuanya hanya untuk menghadap kepada-Nya. Hilang semua motivasi, selain motivasi kepada-Nya. Kita diritualkan berpuasa hanya untuk mengharapkan pahala dari-Nya, bukan pamer terlebih pamer ketaqwaan. Bulan dimana kesucian hati dan kebersihan pikiran menjadi tujuan utama. Bilamana kesucian hati dan kebersihan pikiran telah didapatkan, maka berbahagialah sang manusia. Bulan ibadah, yang tertutup semua keinginan kecuali hanya beribadah kepada-Nya. Bulan dimana setiap detailnya merupakan ibadah, bila benar kita semua menjalani-Nya. Hingga konon tidurnya seorang yang berpuasa pun adalah ibadah.

Muliakanlah bulan Ramadhan ini dengan menjadi pribadi yang mulia, dengan rumus sederhana di atas, yaitu menjadi mukmin yang mulia; yang dalam surat al-`Asr disebut sebagai pelaku kebaikan, pemberi nasehat kebenaran, dan pemberi nasehat dalam kesabaran. Pribadi yang bertuturkan motivasi dalam kebenaran dan kesabaran. Bukan pribadi yang menggunjing dan mencela. Bukan pribadi yang nyinyir dan kata-katanya menyakiti liyan.

Pun menjadi muttaqin yang mulia, yang telah terbiasa tergodok oleh puasa. Terbiasa dalam menjalani semua perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hingga pasca itu semua, ketika semua kejahatan, keburukan mencapai taraf minimal. Dimana tidak ada lagi garis kemiskinan akut, karena yang di sana tidak lagi terbiasa korupsi. Hingga laku korup menjadi nihil, dan sang muttaqin menjadi suka pada shodaqoh dan zakat yang telah menjadi kewajibannya. Adanya hanyalah kebaikan dan kebaikan, yang ada adalah kesejahteraan dan kesejahteraan. Muttaqin mulia telah berhasil, maka ketinggian Islam tak perlu lagi diragukan.

Akhirnya, semoga dan semoga, Ramadhan ini tidak hanya sekedar Ramadhan seperti biasanya. Hanya mengundang lapar dan haus. Semoga Ramadhan ini lebih dan lebih lagi mendekatkan kita semua kepada pribadi mukmin dan muttaqin; yang keutamaannya berkali-kali disebutkan dalam al-Qur`an. Pribadi mukmin dan muttaqin yang mampu merubah kondisi seluruh lapisan masyarakat dimanapun mereka berada. Mengeluarkan yang buruk, meninggalkannya, dan memasukkan yang baik, dan menjadikan kebaikan sebagai laku utama. Bila semua itu belum mampu kita maksimalkan, maka bolehlah kita akan bertanya, mana yang salah dari ini semua. Bertanyalah, bertanyalah! Untuk menemukan jawabannya. Karena al-Ghazali menyatakan, “orang yang tidak pernah merasakan keraguan tidak akan pernah sampai kepada kepastian.3

1 Muhammad Khatami, Membangun Dialog Antarperadaban, Harapan dan Tantangan.

2 Munajat Sya`ban berikut keterangannya, disarikan dari seorang tokoh.

3 Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim

Mendedah Makna Ramadhan

Mendedah makna Ramadhan

Oleh : Muahammad Husain Aziz

“Ramadhan Kareem!” demikian seru Obama. Ternyata dia pun tahu bahwa kurang dari seminggu ke depan ini, Ramadhan -bulan paling sakral menurut Islam- menjadi sebuah atmosfir baru bagi perikehidupan muslim di seluruh dunia. Siapapun dia, ketika telah menjadi seorang muslim -entah dia muslim Sunni maupun muslim Syiah- maka dia akan berpuasa selama sebulan penuh. Siapapun itu, asalkan dia masih hidup di planet bumi, dengan kondisi saat ini yang lintas informasinya telah berjalan lancar akan tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa bagi ummat Islam seluruh alam.

Puasa menjadi kewajiban bagi seorang mukallaf; seorang muslim yang mempunyai kriteria wajib dalam memenuhi kewajiban agamanya. Puasa adalah sebuah proses ibadah; sebuah jalan bertemu dan menyapa Allah SWT sebagai sang Khaliq yang patut disembah.

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون –البقرة-

Dalam ayat 183 surat al-Baqarah di atas, al-Qur`an menyatakan bahwa, puasa merupakan sebuah manifestasi positif berupa ketakwaan bagi الصائم: pelaku puasa.

Sungguh perlu didedahkan kembali arti sebuah ketakwaan di sini, menyangkut korelasi antara ritual puasa dan ketakwaan. Apakah hasil semuanya akan boom!; menjelma secara ujug-ujug begitu saja ketika seseorang berpuasa, jadilah dia menjadi bertakwa. Tentu saja tidak demikian. Puasa juga merupakan sebuah konsep yang sama seperti semua konsep ritual Islam seorang Muslim, yang tidak bisa tidak mempunyai dua konsep dasar; yaitu konsepsi lahiri dan konsepsi batini. Dua konsepsi yang tak terpisahkan.

Secara lahiri, okey-lah seseorang berpuasa, menahan lapar dan haus, menahan semua hal-hal yang membatalkan puasa dari saat sahur hingga berbuka. Maka bolehlah dikatakan bahwa seorang tadi telah sah berpuasa dan pastilah dia mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Namun hal yang batini mestinya juga jangan sampai ketinggalan, apalagi sampai terlupa, bahwa berpuasa adalah sebuah jalan empati kita kepada masyarakat papa yang cenderung jauh di bawah kita. Bahwa barangkali mereka setiap saat mungkin -tidak hanya sebulan- dalam bertahun-tahun hidupnya telah menjalani sebuah puasa abadi karena kemiskinan. Mereka telah mengalami perihnya asam lambung menggigit perut mereka karena tak ada sesuap makanan yang mampu mereka makan. Tidak bisa dibandingkan dengan kita yang telah siap sedia dengan obat maag yang telah kita siagakan -paling tidak kita sudah menyediakan uang untuk berobat saat kita sakit-. Mereka tak lagi berpikir tentang maag, apalagi tentang asam lambungnya yang membuat mereka kembung. Mereka hanya tahu bahwa mereka tak mampu membeli ataupun memperoleh makanan. Mereka tak berpikir apakah mereka berpuasa ataukah tidak. Mereka hanya tahu bahwa mereka lapar. Mereka tak makan, dan mereka kelaparan.

Maka empati tertinggi kita dalam berpuasa -sebagai manusia mulia yang mendapatkan cahaya Islam- adalah kembali kepada kesederhanaan hidup, dan berteguh pada perjuangan dalam melawan dan meminimalisir kantong-kantong kemiskinan masyarakat kita. Bukan malah sebaliknya, kita merasa cukup dengan semua puasa lahiri kita, dan dengan apa yang menjadi hikmah dari berpuasa lepas begitu saja dari kita.

Kita tak pernah merasa malu, saat berbuka macam-macam hidangan telah menanti kita. Kita tak pernah merasa sedemikian sulit dengan puasa kita, karena puasa ini bagi kita hanyalah semacam peralihan jam makan. Kita telah jauh membuang empati puasa kita jauh-jauh dari kita. Tak pernah berpikir bahwa masih ada yang kelaparan nun jauh di sana.

Puasa dan Ramadhan yang semestinya memamerkan rasa empatinya tak mampu lagi ada. Belum selesai dengan perihal lapar dan haus, kita telah bertingkah dengan semua polah gagah bak peragawan dan peragawati, dengan busana serba kinclong dan baru, yang kita jadikan sebuah perayaan untuk menyambut bulan Ramadhan.

Belum selesai kaum papa berpikir tentang perutnya, kita yang katanya berpuasa telah menonjok perasaan mereka dengan semua ke-wah-an berlebih dari gaya hidup kita. Tanpa kita sadari kita telah merasakan dogma baru, yaitu harus memakai sesuatu yang baru saat menyambut bulan suci. Maka lahirlah diri kita yang -lagi-lagi- jauh dari rasa empati puasa dan Ramadhan. Padahal itulah yang merupakan esensi batin berpuasa menuju sebuah manifestasi takwa.

Sebab dari itu, pantaskah semua label ketakwaan yang dijanjikan Allah SWT kepada kita. Bila kita tak benar-benar mau memaknai, mau lebih mendedahkan arti puasa dan Ramadhan yang mulia ini.

Sudah jelas kita ketahui sekarang, bahwa haus dan lapar hanya sebuah raga bagi puasa, jiwa puasanya tetaplah bagaimana rasa empati yang menelorkan lebih pada manifestasi ketakwaan berbentuk menolong sesama, menyebarkan kesetaraan, dan lebih mengobarkan semangat keadilan merupakan sesuatu yang kita temukan dari puasa dan Ramadhan. Bukan berarti bahwa yang terpenting adalah jiw­a-nya lalu kita meninggalkan raga-nya. Bukan juga seperti itu. Akan tetapi kita berpuasa menahan haus dan lapar, sekaligus berlaku kongkrit terhadap haus dan lapar mereka. Jangan sampai kita menjadi apa yang akan disebut oleh Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi sebagai yang tak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar.

Berpuasa menjadi sebuah instrumen keindahan yang melibatkan nuansa kasih berupa rasa haus dan lapar secara menyeluruh, yang disatukan oleh ketaatan -ibadah- kepada-Nya. Berpuasa menggerakkan rasa haus dan rasa lapar sebagai jalan untuk berbagi, saling membahu dalam melengkapi kekurangan bersama. Itu berarti tidak sebaliknya.

Berpuasa menjadi alat melawan lupa terhadap kejamnya kerakusan dan keserakahan. Bila telah teringat terhadap hal demikian maka siapapun yang berpuasa di bulan ramadhan maka haram baginya untuk berlaku korup, haram baginya untuk melakukan kejahatan ekonomi yang akan merugikan masyarakan banyak. Terlebih mengingat masyarakat papa dan kaum kalangan bawah.

Ramadhan dan puasa bukan hanya sebuah moment sekali dalam setahun, akan tetapi moment yang terus mempunyai bekas terhadap perilaku atau habit muslim sehat yang menjalankan puasa. Maka ketika terpenuhi sudah manifes-manifes positif ketakwaan puasa tersebut dalam perikehidupan yang menyeluruh. Benarlah kalamullah al-Qur`an al-Karim yang menyatakan bahwa hamba bertakwa telah lahir dan ia mempunyai predikat berhasil nan-sukses. Darinya muatan keadilan sosial tercapai; maka jadilah Islam menjadi sebuah ushul atau teologis yang sempurna dan menyempurnakan kondisi masyarakat penganutnya..

Kewajiban berpuasa tidak lain adalah untuk ketakwaan, ketakwaan yang tidak bersifat personal tentunya, yaitu ketakwaan menyeluruh. Secara universal mencakup seluruh ummat manusia. Karenanya tepat bila disebutkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan paling istimewa.

Semoga Ramadhan dan puasa kita di depan mampu menjadi dan menumbuhkan kita semua menjadi manusia takwa yang dijanjikan, yang dengan demikian semua masalah masyarakat kita, seperti merebaknya korupsi, lelaku ekonomi curang dan semua manifestasi buruk dalam masyarakat kita lebur. Hilang berganti dengan manifestasi kebaikan Ramadhan dan puasa. Berganti dengan apa yang disebut Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi dengan rahmat, hidayah, dan maghfirah. Pun senantiasa melingkupi kita semua, di manapun dan kapanpun kita.

Sungguh semoga biarlah kita menjadi apa yang Nabi sabdakan, barang siapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keyakinan dan mengharap balasan dari-Nya, maka sungguh dosa-dosa yang telah ia lakukan diampuni oleh Allah Jalla wa A`la. Semoga spektrum kebaikan Ramadhan kali ini meluas, memancar kuat, merubah bebas segala keburukan-keburukan personal maupun sosial, dan merubahnya menjadi kebaikan-kebaikan individu yang tawadhu` dan kebaikan sosial yang berkeadilan. Wallah, semoga Allah menyempurnakan ibadah puasa kita. (Muhammad Husain Aziz N)


Pelajaran dari Kupu-kupu

Pelajaran dari Kupu-kupu

Oleh : Ary El Wanasaby


Hidup adalah perjuangan. Apapun kegiatan kita di muka bumi ini pada dasarnya adalah untuk mempertahankan eksistensi diri, agar tetap langgeng sehingga bisa menjalankan tugas yang diembannya sebagai khalifah Allah. Khalifah adalah pemimpin. Sekecil apapun kedudukan kita di masyarakat, kita adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi diri sendiri.

Hidup memang membutuhkan perjuangan. Jika kita berbicara tentang “hidup”, maka kita akan dibenturkan dengan “masalah dalam hidup”. Tidak ada seorang pun yang hidup terbebas dari masalah, dan hidup pun tidak akan berarti jika tidak ada masalah. Masalah hidup sangat beraneka ragam, mulai dari yang sifatnya sepele seperti lupa mematikan lampu luar saat pagi hari, sampai masalah besar misalnya mengalami kecelakaan saat berkendara, punya hutang banyak, dan sebagainya. Masalah ada yang datang dengan sendirinya, ada pula yang sengaja kita buat sesuatu yang sebenarnya tidak masalah menjadi masalah. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut dibutuhkanlah apa yang namanya “perjuangan”. Perjuangan ibarat sebilah pedang yang berfungsi membabat semua masalah yang merintangi jalan hidup kita. Tanpa perjuangan, mustahil kita dapat keluar dari masalah.

Masalah timbul karena adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan kenyataan, atau dalam bahasa ilmiahnya yaitu kesenjangan antara das sein dengan das solen. Hal yang kita inginkan seharusnya lampu luar sudah dimatikan waktu pagi hari, namun kenyataannya masih menyala. Begitu pula saat berkendara kita tentu menginginkan selamat, namun kadang kenyataannya kita mengalami kecelakaan. Itulah beberapa contoh yang dinamakan masalah. Pertanyaannya kemudian, mengapa harus ada masalah dalam kehidupan ini? Bukankah tanpa masalah kita dapat hidup dengan tenang dan tentram?? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini kami mencoba menguraikannya dengan sebuah kisah menarik tentang bayi kupu-kupu. Berikut kisahnya.

Suatu hari pada saat lubang kecil timbul di suatu kepompong, seorang laki-laki duduk dan memperhatikan bagaimana seekor bayi kupu-kupu berjuang selama berjam-jam untuk memaksa mengeluarkan badannya melalui lubang tersebut. Akan tetapi beberapa saat kemudian, proses tersebut berhenti tanpa ada kemajuan lebih lanjut. Tampaknya bayi kupu-kupu tersebut sudah berusaha sekuat tenaga dan tidak bisa bergerak lebih jauh lagi untuk keluar dari lubang kepompong tersebut. Merasa kasihan, akhirnya sang lelaki tersebut memutuskan untuk menolongnya. Kupu-kupu tersebut akhirnya dapat keluar dengan mudah, walau dengan tubuh yang lemah, kecil, dan sayap yang mengkerut.

Sang lelaki terus mengamatinya dengan berharap bahwa suatu saat, sayapnya akan terbuka, membesar dan mengembang, agar bisa menyangga tubuhnya dan menjadi kuat. Lama menunggu, ternyata tidak terjadi apa-apa, dan kupu-kupu tersebut menghabiskan sisa waktu hidupnya dengan merangkak beserta tubuhnya yang lemah dan sayap yang mengkerut tidak pernah bisa terbang.

Itulah sepenggal kisah tentang bayi kupu-kupu, yang darinya kita dapat mengambil sebuah pelajaran. Lelaki baik dan penolong ini tidak mengerti bahwa kepompong yang menjerat maupun perjuangan yang dibutuhkan oleh kupu-kupu untuk dapat lolos melewati lubang kecil, adalah cara Allah untuk mendorong cairan tubuh dari kupu-kupu kesayapnya, agar kuat dan siap untuk terbang sewaktu-waktu setelah bebas dari kepompongnya nanti.

Perjuangan mutlak dibutuhkan dalam menjalani kehidupan kita ini. Apabila Allah membolehkan kita hidup tanpa ada hambatan, itu hanya akan membuat kita lemah. Adapun hambatan-hambatan itu adalah setiap masalah yang kita hadapi, yang kadang membuat kita bermuka masam, lebih parah lagi marah-marah sambil mengutuk orang lain yang tidak bersalah. Masalah bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi, sebab kita hidup tidak pernah lepas dari masalah. Sebaliknya, masalah ibaratnya bumbu penyedap yang akan menjadikan hidup menjadi manis, asem, asik. Karena masalah kita menjadi kreatif, karena masalah kita menjadi berjuang dan berusaha, karena masalah pula kita menjadi kuat dan pantang menyerah. Kita tidak perlu takut menghadapi masalah. Yakinlah. Allah hanya akan menguji kita sesuai dengan tingkat kemampuan kita.

Hidup di zaman modern yang serba kompetitif ini, perjuangan merupakan perkara yang mutlak kita miliki. Disamping itu, semakin maju sebuah peradaban semakin, kompleks pula masalah yang dihadapi. Di negara kita misalnya, beraneka macam masalah seolah datang bertubi-tubi. Sebut saja misalnya, korupsi yang sudah menjadi problem akut negara ini namun belum juga tuntas penyelesaiannya, belum lagi ledakan tabung gas yang banyak memakan korban, perbuatan asusila yang dilakukan sejumlah artis yang membuat kita wajib prihatin akan generasi masa depan bangsa, kenaikan tarif dasar listrik yang semakin mencekik, Jakarta yang semakin tak tertata kemacetannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Untuk dapat keluar dari itu semua, diperlukan sebuah tekad perjuangan kuat, pantang menyerah, dan tak kenal lelah. Syafi’i Ma’arif mengatakan, memang tidak mudah menyelesaikan masalah bangsa ini, namun kita tidak boleh pasrah dan menyerah.

Sebuah kata indah dan bijak mengatakan, “masalah adalah peluang untuk menjadi dewasa”. Memang benar, dari permasalahan, seseorang dapat mengambil pelajaran. Melalu permasalahan pula kita dapat berpikir dan bersikap lebih matang. Dan sejauh pengamatan kami terhadap beberapa orang, ternyata orang yang hidupnya dilingkupi banyak masalah terlihat lebih dewasa dari pada orang yang hidupnya memiliki sedikit masalah. Logikanya mudah, ikan yang hidup di air deras tentu lebih sehat dan kuat dari pada ikan yang hidup di air tenang. Hal tersebut berlaku pula bagi manusia dengan permasalahannya. Oleh karena itu hadapilah masalah dengan wajah ceria pda penuh semangat, sebab itu adalah peluang bagi kita untuk lebih dewasa, lebih kuat, dan lebih tahan banting guna menghadapi masalah selanjutnya yang mungkin lebih besar. Hanya orang pemurung dan putus asa saja yang akan tersingkir dari eksistensinya. Sementara mereka yang bergairah dalam menghadapi masalah akan terus melesat menaiki anak tangga hingga ke puncak kesuksesan yang diinginkannya. Namun perlu diingat bahwa tidak akan berguna setiap usaha jika tidak dibarengi doa. Usaha dan doa merupakan ciri khas kita sebagai umat Islam.

  



Kepribadian Manusia dalam Al Qur'an

KEPRIBADIAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN


Oleh : Nasrie K


Manusia diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baiknya, melebihi makhluk yang telah diciptakan sebelumnya. Disamping manusia memiliki kekurangan dan kelemahan yang tidak dapat luput dari salah dan dosa, manusia juga di bekali pola-pola kepribadian, dalam bahasa lainnya manusia memiliki karakteristik (tingkah laku) tertentu yang mungkin timbul darinya dalam situasi-situasi tertentu.

Al-Quran sebagai kitab suci umat muslim di dunia, merupakan mukjizat yang sangat luar biasa, dimana di dalamnya terdapat hal-hal yang terkait dengan apa yang ada di dunia beserta isinya dan apa yang ada di akhirat. Kemukjizatan Al-Quran yang telah tertulis dari sekian abad silam, kini di tengah-tengah kemajuan IPTEK, isi dan pesan yang terdapat dalam Al-Quran tersebut dapat terbukti secara empiris dan ilmiah. Fenomena inilah yang membuktikan kebenaran Al-Quran sebagai kitab suci terdahsyat di alam dunia ini, bukan hanya kaum muslim saja yang mengakui ini, bahkan ilmuan dan peneliti non muslim pun turut mengakui kebenaran Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an klasifikasi manusia, berdasarkan akidahnya terbagi tiga pola :

  1. Orang-orang yang beriman

  2. Orang-orang yang kafir

  3. Orang-orang yang munafik

Masing-masing dari ketiga pola ini mempunyai sifat utama umum yang membedakannya dari pola yang lain. Klasifikasi manusia berdasarkan Al-Qur’an yakni Aqidah. Aqidah ini seiring dengan dengan tujuan-tujuan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai kitab aqidah dan petunjuk. Selain itu, klasifikasi ini juga mengemukakan tentang pentingnya aqidah dalam membentuk kepribadian manusia, membentuk sifat-sifatnya yang khas, dan mengarahkan tingkah lakunya kesuatu arah tertentu. Klasifikasi ini juga mengisyaratkan bahwa faktor utama dalam menilai kepribadian, menurut al-qur’an ialah Aqidah.

Dari ketiga pola kepribadian ini diurakan Al-Qur’an dengan sifat-sifat khusus yang menjadi ciri masing-masing dan yang membedakan anatara satu dangan yang lain. Berikut ini akan dijelaskan sifat-sifat terpenting yang menjadi ciri utama dari masing-masing ketiga pola kepribadian manusia dalam Al-Qur’an tersebut.

1. Orang-orang Beriman

Orang-orang beriman banyak disebut Allah dalam banyak ayat dalam sebagian besar surah Al-Qur’an. Tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan banyak diuraikan dalam aqidah, ibadah, moral, hubungan dengan orang lain, hubungan kekeluargaan, cinta kepada ilmu pengetahuan, kehidupan praktis, upaya untuk mencari rezki, dan sifat-sifat fisiknya.

Dalam kepribadian seorang Mukmin, sifat-sifat tersebut tidaklah lepas antara satu sama lainnya, saling berinteraksi dan saling menyempurnakan. Orang-orang beriman tidaklah semuanya berada pada pringkat ketakwaan yang sama, tapi berbeda-beda. Sebagaimana di jelaskan dalam QS. Faathir [35]: 32.

Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. QS. Faathir [35]: 3”.

Dalam tafsir al-jalalain diuraikan, bahwa ”orang yang menganiaya dirinya sendiri” ialah orang yang terbatas dalam beramal kebaikan. Sedang orang ”yang pertengahan ” ialah orang yang sebagian besar waktunya untuk berbuat kebaikan. Sementara ”orang yang cepat berbuat kebaikan” ialah orang yang disamping beramal kebaikan juga mengajarkan dan mengajak orang lain untuk beramal kebaikan.

  1. Orang-orang yang kafir

Orang-orang kafir juga banyak dikemukakan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Mereka diberi atribut dengan berbagai sifat utama yang menjadi sosok mereka yang tidak beriman kepada akidah tauhid, kepada para Rasul, kitab-kitab yang diturunkan, hari akhir, kebangkitan kembali, perhitungan, surga, dan neraka. Mereka itu adalah pribadi-pribadi yang statis pemikirannya dan tidak mampu memahami realitas tauhid yang diserukan Islam. Oleh karena itu Al-Quran melukiskan mereka sebagai berikut :

Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat. (Al Baqarah [2.]: 7)

  1. Orang-orang yang munafik

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (An Nisaa'[4]: 145)

Sifat-sifat utama kepribadian orang munafik dalam Al-Quran dapat digolongkan sebagai berikut:

  • Sifat yang berkenaan dengan akidah: mereka tidak mempunyai sikap yang tegas terhadap akidah tauhid.

  • Sifat-sifat yang berkenaan dengan berbagai ibadah: mereka melaksanakan ibadah hanya karena riya, dan dalam mendirikan sholat mereka bermalas-malasan.

  • Sifat-sifat yang berhubungan dengan sosial: Mereka menyuruh kemungkaran dan mencegah kebajikan.

  • Sifat-sifat moral: Suka mengingkari janji, pembohong, kikir, hedonis dan oportunis, dan suka menuruti hawa nafsu.

  • Sifat-sifat emosional: Mereka membenci dan dengki terhadap kaum Muslimin dan takut terhadap kematian.

  • Sifat-sifat intelektual: Mereka ini peragu dan tidak mampu mengambil suatu keputusan dan ketetapan terhadap akidah tauhid, karena itu Al-Qur’an melukiskan mereka sebagai ”orang-orang yang tertutup hatinya”.

Dari beberapa ciri diatas manakah kepribadian kita sesungguhnya, hanya diri anda sendiri dan Tuhan yang tahu jawabannya. Dari beberapa ciri-ciri kepribadian di atas, merupakan sebagai introspeksi diri (muhasabah) untuk menjadi muslim yang memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya..