Senin, 19 Januari 2009

Tuhan, Ilmu, dan Makna Agama


maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS:30:30)

Pada era industri ini, pendangkalan keyakinan manusia akan Tuhan semakin tampak nyata di depan mata. Kemajuan ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemampuan akal (rasionalitas), kepercayaan atas realitas aktual (empirisme), dan semangat eksperimentasi, telah melahirkan kemerdekaan manusia untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.

Dua gejala

Setidaknya, hemat penulis, ada dua gejala besar yang bisa kita tandai dari kasus kebebasan manusia untuk lari dari Tuhan ini.

Pertama, gejala yang tampak dari mereka yangb terang-terangan tidak beriman dan tidak “peduli” pada Tuhan.. realitas dunia mereka serap dan susun hanya sekedar untuk memenuhi kemampuan dan kepentingan mereka baik sebagai konglomerat, filosof, ilmuwan, dan lain sebagainya. Agama hanyalah omong kosong belaka. Karl marx(1818-1883), misalnya, memandang agama sebagai” desahan makhluk tertekan...candu masyarakat, untuk membuat penderitaan tertanggungkan. Karl Marx memandang bahwa agama bukanlah system yang sanggup memberikan solusi terhadap permasalahan kehidupan masyarakat, agama hanyalah “pelarian” manusia-manusi yang tak sanggup manghadapi kegaluan kehidupan modern.

Nietzche, yang memproklamirkan tentang “kematian Tuhan”, menurutnya, agama –agam yang sudah dijadikan rujukan manusia ini sarat dengan kontaminasi dan unifikasi dogma-dogma klasik, dongeng-dongeng baku, dan irrelevan dengan kebutuhan manusia. Agama disebut tidaklah lebih dari sebuah pelarian manusia-manusia yang gagal menggunakan akalnya yang mengalami kekalahan memperebutkan keberuntungan-keberuntungan yang dijanjikan kehidupan modern.

Kedua, gejala itu tampak dari mereka yang mengaku beriman pada Tuhan. Namun, Tuhan telah mereka lupakan dan campakkan dalam lakon kehidupan sehari-hari yang mereka jalani atas dasar hawa nafsu, kepentingan, dan keinginan untuk menjadi penguasa atas manusi lainnya. Mereka pun korupsi, berambisi pribadi menghancurkan alam, dan merusak taanan sosial.

Dua gejala besar yang akut itu telah menjangkiti manusia. Termasuk orang-orang muslim yang beriman pada Allah, yang shalat lima kali sehari, yang berhaji setiap tahun, yang rutin berzakat, dan yang begitu tampak saleh di depan publik.

Pertanyaannya, apakah dengan menyingkirkan Tuhan, mereka dan bahkan kita semua mampu memberikan “obat” untuk menyembuhkan penyakit kehidupan modern ini? Apakah saat nafsu dan kepentingan menjadi landasan hidup telah kita praktekan, lantas ketakutan-ketakutan kita jadi hilang?

Ilmu: Kehilangan Arah

Kegaluan masyarakat bukannya berkurang, melainkan semakin parah. Berkat kemajuan buah pikir yang cemerlang teknologi dan sains lainnya, manusia semakin mudah untuk saling memusnahkan satu sama lain. Modus operandi kejahatan semakin rapi, kerusakan moral semakin tak terbendung, penindasan sesama manusia bertambah pinak.

Sains dan tekologi telah kehilangan arah tujuan. Semualnya sebagai alat untuk memakmurkan dunia. Kecanggihan teknologi hanya menjadi malapetaka bilamana para pemegangnya tidak punya moral.

Hal ini menunjukkan adanya sikap manusia yang mencabut roh ketuhanan. Padahal, kemajuan teknogi tanpa didukung nilsi-nilai ke-Tuhan-an tak ubahnya seperti si buta yang yang dipegangi pedang, pasti ngawur menebasnya.

Ilmu pengetahuan yang semula oleh Allah diturunkan agar manusia bisa menemukan jati diri dan keberadaan Tuhannya, kini malah sebaliknya. Ilmu pengetahuan yang kita miliki semakin menjauhkan diri kita dari Tuhan.

Seperti yang dikatakan T.S. Elliot, semakin hari ilmu pengetahuan hanya membawa kita kepada kebodohan, sedangkan kebodohan kita membawa kita makin dekat kepada kematian. Tetapi semakin dekat dengan kematian bukannya membawa kita dekat kepada Tuhan tetapi malah menjauh.

Begitulah, jika Tuhan dijauhkan dari hidup ini. Pandangan kita hanya dijejali oleh keinginan bagaimana memuaskan hawa nafsu, ambisi, materi dan kepentingan sesaat semata. Kita pun diperbudak oleh benda-benda mati yang seharusnya kita kendalikan.

Hanif : Agama sebagai sistem

Firman Allah di atas menjelaskan bahwa agama merupakan kebutuhan. Kalau boleh dikatakan, agama adalah roh manusia yang bisa membuat manusia hidup dan bersemangat dalam mengarungi ganasnya kehidupan.

Sudah menjadi tabiat manusia bila ada masalah di luar kemampuannya, mereka akan mencari penolong yang dianggap memiliki kekuatan di atas segala kekuatan untuk dimintai pertolongan (QS:17:83. pemilik kekuatan linuwih inilah yang dinamakan Tuhan.

Sudah menjadi fitrah bila manusia merindukan Tuhan. Ini semua tak lepas dari awal manusia yang suci, dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari, dan menemukan Tuhan. Itulah ajaran yang disebut hanif.

Melalui kehanifan ini, manusia berusaha mencari kebahagian hakiki yang akan tercapai bila manusia mampu menemukan kesejatian (ma’rifat) Tuhan (QS: 89: 27-30)

Untuk itu, kita memerlukan sebuah sistem hanif yang akan mengantarkan kita tepat pada sasarannya. Sistem inilah yang kita sebut dengan agama.

Agama dipandang sebagai cara atau sarana untuk menemukan kebutahan dambaan manusi. Walaupun, di abad modern ini, ada yang percaya bahwa agama akan segera tergantikan oleh ilmu pengetahuan.

Namun, setelah kemajuan besar tercapai oleh pengetahuan, manusi tetap merasakan adanya kebutuhan terhadap agama berkenaan dengan bagaiman manusia meraih kebahagiaan pribadi maupun sosialnya.

Tuhan adalah suatu keniscayaan bagi setaip manusia. Hal ini didasari oleh sifat manusia yang ingin memenuhi kebutuan spiritulnya tanpa batas, ingin melepaskan diri dari wujud terbatas,dan ingin encapai inti wujud( Tuhan ).

Pada diri manusi terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tentram, kecuali jika telah berhubungan dengan sumber inti wujud ini.

Tanpa Tuhan, politik dan moralitas akan menjadi pragmatik dan licik, jiwa-jiwa mendadak gersang, bencana pun semakin mengerikan.

Agama Sebagai Sarana

Tetapi, yang perlu dicatat saat ini adalah agar agama tetap berada dalam fitrahnya, yakni sebagai kebutuhan pokok manusia dan tidak dianggap sebagai “opium”. Maka tugas kita adalah menerjemahkan (memaknai) agama itu sendiri dalam bentuk praktek membuat kebaikan bagi alam semesta ( memayu hayuning bawono) dalam kehidupan sehari-hari (QS : 21 : 107)

Hal ini penting, agar agama itu tidak kita pandang hanya sekedar ritual rutin yang bisa menyebabkan kita menganggap diri kita ini paling saleh setelah menjalankannya. Jika kita masih seperti itu, mungkin itulah agama yang disebut candu. Wajar, kalau manusia modern semakin sangsi dan pada akhirnyaakan menciptakan agama (aliran-aliran) baru bahkan Tuhan baru.

Jadi, memaknai agama dengan sebenarnya adalah keharusan bagi setiap umat beragama supaya agama benar-benar menjadi suatu kebutuhan manusia yang hanif tersebut. Sehingga keberadaan agama tetap langgeng dan tak tergantikan oleh paham-paham sesat lainnya.

Agama bukanlah “berhala” yang harus disembah. Agama hanyalah sebuah sarana menuju Allah. Marilah kita hitung, berapa banyak di antara kita yang lebih beriman pada agamanya daripada beriman pada Allah. Wa Allahu a’lam.

Khoirul Anwar

Mahasiswa UIN Yogyakarta

Alamat Yogya: fakultas Sains dan Teknologi, jurusan pendidikan kimia

, UIN Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar