Kamis, 29 Januari 2009

`Alim

`Alim

Kata `Alim terambil dari akar kata “ilm” yang menurut para pakar bahasa berarti “menjangkau sesuai dengan keadaan sebenarnya”. Bahasa arab menggunakan semua kata-kata yang tersusun dari huruf-huruf “ain”,”lam”,”mim” dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “ ‘alamat” (alamat) yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang menghantarkan seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ilmu”, demikian juga halnya, ia artikan sebagai sesuatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. (M. Quraish Shihab. 2005:113)

Dalam Alquran ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan akar kata yang sama, `Alim. Kata `Alim dalam Alquran ditemukan sebanyak 166 kali. Di samping itu terdapat pula sekian banyak kata `Alim yang menunjuk kepada Allah, sebagaimana banyak juga yang menunjuk-Nya dengan menggunakan redaksi A’lam (lebih mengetahui). Banyaknya ayat-ayat serta beraneka ragamnya bentuk yang digunkan menunjukkan betapa luas dan banyak ilmu Allah.

‘Ilmu menjadi begitu penting dalam kehidupan di alam raya ini. Manusia menjadi mulia karena memiliki berbagai macam ilmu. Ketika terjadi mosi tidak percaya dikalangan para malaikat terhadap keputusan Allah tatkala Ia mentasbihkan manusia sebagai kholifatul fil ardh, Allah mentransfer ilmunya dalam diri Adam dan menyuruhnya membuktikan kelebihan tersebut dihadapan para malikat. Dengan ilmu yang telah diajarkan-Nya inilah akhirnya para malaikat menjadi bersujud dihadapan Adam saat Allah memerintahkan bersujud.

Ilmu menjadi pisau bedah bagi kehidupan manusia dalam menghadapi realitas kehidupan. Realitas, sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo, merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada bangsa manusia. Ilmu menjadi jalan menuju kebenaran sekaligus mempertanyakan kebenaran itu sendiri, apakah kebenaran itu memang kebenaran “kaffah” ataukah kebenaran relatif, yang sering memunculkan multitafsir dan menimbulkan debat kusir tanpa ujung.

Ilmu dan kebenaran saling terkait bagaikan mata rantai yang tak bisa di lepaskan, sebagaimana Allah menyebutkan dalam sebuah firman-Nya, “akan mengangkat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Firman ini bukanlah sebuah model heirakis, melainkan hubungan yang setara antara ilmu dan iman. Ilmu harus mampu mambawa pemiliknya menuju ke-iman yang tertinggi dan membuatnya selalu berada dalam keadaan “hanif”. Ilmu menjadi kacamata kedua, setelah hembusan ketauhidan yang diberikan Allah ketika di alam kandungan, untuk memandang kebenaran.

Islam memandang kebenaran ialah apa saja yang datang dari Tuhan sebagai sumber kebenaran tertinggi dari semua kebenaran, al haqqu mirrobbik. Al haqqu mirrobbik inilah yang seharusnya mampu ditangkap oleh “radar-radar” keimanan manusia. Efek dari penangkapan sinyal-sinyal al haqqu mirrobbik adalah membawa manusia menuju derajat “kaffah kebenaran”, keadaan manusia yang terselimuti cahaya kebenaran hingga menjadi manusia ahsanu taqwim. Hanya saja yang perlu digaris bawahi, “kaffah kebenaran” ini bukanlah manusia berubah atau menggantikan posisi “ ana al haq”, kebenaran tertinggi alias keadaan kebenaran yang sebenarnya benar; Tuhan. Kebenaran mutlak tetaplah milik Allah, manusia hanya ‘kecipratan” setitik dari air samudara kebenaran Allah.

Dari ilmu menuju Al Hakim.

Muara ilmu, sebagaimana akar kata ilmu itu sendiri, yakni mencapai keadaan yang bijaksana, keadaan tanpa keraguan. Menurut imam Al-Ghazali, hakim di tempatkan dalam wilayah pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama; ilmu yang paling utama dan wujud yang paling agung; yakni Allah swt. “ilmu yang mampu membawa ke al Hakim inilah oleh orang-orang jawa di sebut “ilmu sejati”, yakni ilmu bisa membawa pemiliknya untuk mengingat “sangkan paraning dumadi”, konsep asal usul dan tujuan manusia diciptakan.

Dengan ilmu, manusia menjadi bijaksana; bijaksana dalam bertindak, berkata dan bergaul sesama makhluk Allah. Manusia bijak tidak akan bertindak nista, menipu, korupsi, meneror kehidupan orang lain, menyakiti, menyinggung perasaan makhluk lain. Orang bijak akan selalu menghindari hal-hal yang negatif karena sadar bahwa gusti ora sare (Allah tidak tidur). Gerak geriknya dalam lingkup Allah dan perbuatan apa saja pasti menui pembalasan (ngunduh wohing budi pakerti), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Zalzalah. Sikap hakim adalah sikap “berbudi bawa laksana” yakni sikap yang konsekuen dalam ucapan dan tindakannya. Sikap Al-hakim menjadikan manusia “ngerti empan-papan”, tahu waktu-tempat, sesuai kondisi diri, sosialnya, apakah sebagai penguasa atau jelata, miskin-kaya, ia akan mampu bersikap “memayu hayuning bawono” menciptakan kedamaian dijagat raya ini sesuai tugas kholifatul fil ardh. Wa’allhu ‘alam bishowab.



Oleh : Khoirul Anwar (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar