Kamis, 12 Agustus 2010

Mendedah Makna Ramadhan

Mendedah makna Ramadhan

Oleh : Muahammad Husain Aziz

“Ramadhan Kareem!” demikian seru Obama. Ternyata dia pun tahu bahwa kurang dari seminggu ke depan ini, Ramadhan -bulan paling sakral menurut Islam- menjadi sebuah atmosfir baru bagi perikehidupan muslim di seluruh dunia. Siapapun dia, ketika telah menjadi seorang muslim -entah dia muslim Sunni maupun muslim Syiah- maka dia akan berpuasa selama sebulan penuh. Siapapun itu, asalkan dia masih hidup di planet bumi, dengan kondisi saat ini yang lintas informasinya telah berjalan lancar akan tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa bagi ummat Islam seluruh alam.

Puasa menjadi kewajiban bagi seorang mukallaf; seorang muslim yang mempunyai kriteria wajib dalam memenuhi kewajiban agamanya. Puasa adalah sebuah proses ibadah; sebuah jalan bertemu dan menyapa Allah SWT sebagai sang Khaliq yang patut disembah.

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون –البقرة-

Dalam ayat 183 surat al-Baqarah di atas, al-Qur`an menyatakan bahwa, puasa merupakan sebuah manifestasi positif berupa ketakwaan bagi الصائم: pelaku puasa.

Sungguh perlu didedahkan kembali arti sebuah ketakwaan di sini, menyangkut korelasi antara ritual puasa dan ketakwaan. Apakah hasil semuanya akan boom!; menjelma secara ujug-ujug begitu saja ketika seseorang berpuasa, jadilah dia menjadi bertakwa. Tentu saja tidak demikian. Puasa juga merupakan sebuah konsep yang sama seperti semua konsep ritual Islam seorang Muslim, yang tidak bisa tidak mempunyai dua konsep dasar; yaitu konsepsi lahiri dan konsepsi batini. Dua konsepsi yang tak terpisahkan.

Secara lahiri, okey-lah seseorang berpuasa, menahan lapar dan haus, menahan semua hal-hal yang membatalkan puasa dari saat sahur hingga berbuka. Maka bolehlah dikatakan bahwa seorang tadi telah sah berpuasa dan pastilah dia mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Namun hal yang batini mestinya juga jangan sampai ketinggalan, apalagi sampai terlupa, bahwa berpuasa adalah sebuah jalan empati kita kepada masyarakat papa yang cenderung jauh di bawah kita. Bahwa barangkali mereka setiap saat mungkin -tidak hanya sebulan- dalam bertahun-tahun hidupnya telah menjalani sebuah puasa abadi karena kemiskinan. Mereka telah mengalami perihnya asam lambung menggigit perut mereka karena tak ada sesuap makanan yang mampu mereka makan. Tidak bisa dibandingkan dengan kita yang telah siap sedia dengan obat maag yang telah kita siagakan -paling tidak kita sudah menyediakan uang untuk berobat saat kita sakit-. Mereka tak lagi berpikir tentang maag, apalagi tentang asam lambungnya yang membuat mereka kembung. Mereka hanya tahu bahwa mereka tak mampu membeli ataupun memperoleh makanan. Mereka tak berpikir apakah mereka berpuasa ataukah tidak. Mereka hanya tahu bahwa mereka lapar. Mereka tak makan, dan mereka kelaparan.

Maka empati tertinggi kita dalam berpuasa -sebagai manusia mulia yang mendapatkan cahaya Islam- adalah kembali kepada kesederhanaan hidup, dan berteguh pada perjuangan dalam melawan dan meminimalisir kantong-kantong kemiskinan masyarakat kita. Bukan malah sebaliknya, kita merasa cukup dengan semua puasa lahiri kita, dan dengan apa yang menjadi hikmah dari berpuasa lepas begitu saja dari kita.

Kita tak pernah merasa malu, saat berbuka macam-macam hidangan telah menanti kita. Kita tak pernah merasa sedemikian sulit dengan puasa kita, karena puasa ini bagi kita hanyalah semacam peralihan jam makan. Kita telah jauh membuang empati puasa kita jauh-jauh dari kita. Tak pernah berpikir bahwa masih ada yang kelaparan nun jauh di sana.

Puasa dan Ramadhan yang semestinya memamerkan rasa empatinya tak mampu lagi ada. Belum selesai dengan perihal lapar dan haus, kita telah bertingkah dengan semua polah gagah bak peragawan dan peragawati, dengan busana serba kinclong dan baru, yang kita jadikan sebuah perayaan untuk menyambut bulan Ramadhan.

Belum selesai kaum papa berpikir tentang perutnya, kita yang katanya berpuasa telah menonjok perasaan mereka dengan semua ke-wah-an berlebih dari gaya hidup kita. Tanpa kita sadari kita telah merasakan dogma baru, yaitu harus memakai sesuatu yang baru saat menyambut bulan suci. Maka lahirlah diri kita yang -lagi-lagi- jauh dari rasa empati puasa dan Ramadhan. Padahal itulah yang merupakan esensi batin berpuasa menuju sebuah manifestasi takwa.

Sebab dari itu, pantaskah semua label ketakwaan yang dijanjikan Allah SWT kepada kita. Bila kita tak benar-benar mau memaknai, mau lebih mendedahkan arti puasa dan Ramadhan yang mulia ini.

Sudah jelas kita ketahui sekarang, bahwa haus dan lapar hanya sebuah raga bagi puasa, jiwa puasanya tetaplah bagaimana rasa empati yang menelorkan lebih pada manifestasi ketakwaan berbentuk menolong sesama, menyebarkan kesetaraan, dan lebih mengobarkan semangat keadilan merupakan sesuatu yang kita temukan dari puasa dan Ramadhan. Bukan berarti bahwa yang terpenting adalah jiw­a-nya lalu kita meninggalkan raga-nya. Bukan juga seperti itu. Akan tetapi kita berpuasa menahan haus dan lapar, sekaligus berlaku kongkrit terhadap haus dan lapar mereka. Jangan sampai kita menjadi apa yang akan disebut oleh Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi sebagai yang tak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar.

Berpuasa menjadi sebuah instrumen keindahan yang melibatkan nuansa kasih berupa rasa haus dan lapar secara menyeluruh, yang disatukan oleh ketaatan -ibadah- kepada-Nya. Berpuasa menggerakkan rasa haus dan rasa lapar sebagai jalan untuk berbagi, saling membahu dalam melengkapi kekurangan bersama. Itu berarti tidak sebaliknya.

Berpuasa menjadi alat melawan lupa terhadap kejamnya kerakusan dan keserakahan. Bila telah teringat terhadap hal demikian maka siapapun yang berpuasa di bulan ramadhan maka haram baginya untuk berlaku korup, haram baginya untuk melakukan kejahatan ekonomi yang akan merugikan masyarakan banyak. Terlebih mengingat masyarakat papa dan kaum kalangan bawah.

Ramadhan dan puasa bukan hanya sebuah moment sekali dalam setahun, akan tetapi moment yang terus mempunyai bekas terhadap perilaku atau habit muslim sehat yang menjalankan puasa. Maka ketika terpenuhi sudah manifes-manifes positif ketakwaan puasa tersebut dalam perikehidupan yang menyeluruh. Benarlah kalamullah al-Qur`an al-Karim yang menyatakan bahwa hamba bertakwa telah lahir dan ia mempunyai predikat berhasil nan-sukses. Darinya muatan keadilan sosial tercapai; maka jadilah Islam menjadi sebuah ushul atau teologis yang sempurna dan menyempurnakan kondisi masyarakat penganutnya..

Kewajiban berpuasa tidak lain adalah untuk ketakwaan, ketakwaan yang tidak bersifat personal tentunya, yaitu ketakwaan menyeluruh. Secara universal mencakup seluruh ummat manusia. Karenanya tepat bila disebutkan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan paling istimewa.

Semoga Ramadhan dan puasa kita di depan mampu menjadi dan menumbuhkan kita semua menjadi manusia takwa yang dijanjikan, yang dengan demikian semua masalah masyarakat kita, seperti merebaknya korupsi, lelaku ekonomi curang dan semua manifestasi buruk dalam masyarakat kita lebur. Hilang berganti dengan manifestasi kebaikan Ramadhan dan puasa. Berganti dengan apa yang disebut Nabi shallallahu `alaihi wasallam wa `ala alihi dengan rahmat, hidayah, dan maghfirah. Pun senantiasa melingkupi kita semua, di manapun dan kapanpun kita.

Sungguh semoga biarlah kita menjadi apa yang Nabi sabdakan, barang siapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keyakinan dan mengharap balasan dari-Nya, maka sungguh dosa-dosa yang telah ia lakukan diampuni oleh Allah Jalla wa A`la. Semoga spektrum kebaikan Ramadhan kali ini meluas, memancar kuat, merubah bebas segala keburukan-keburukan personal maupun sosial, dan merubahnya menjadi kebaikan-kebaikan individu yang tawadhu` dan kebaikan sosial yang berkeadilan. Wallah, semoga Allah menyempurnakan ibadah puasa kita. (Muhammad Husain Aziz N)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar