Sabtu, 03 Juli 2010

Rendi


Nama Lengkap : Rendi Harison

Tempat Asal     : --

Jurusan             : Pendidikan Agama Islam, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Putra


Nama Lengkap : Yandres Tri Putra

Tempat Asal     : Padang, Sumatera Barat

Jurusan             : Psikologi, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Minan


Nama Lengkap : Ahmad Minan Zuhri

Tempat Asal     : Pati, Jawa Tengah

Jurusan             : Kependidikan Islam, angk. 06 UIN Sunan Kalijaga

Kholid


Nama Lengkap : Maulana Kholid

Tempat Asal     : --

Jurusan             : Pendidikan Agama Islam, angk. 05 UIN Sunan Kalijaga

Jalaludin


Nama Lengkap : Jalaludin

Tempat Asal     : Lombok

Jurusan             : Kependidikan Islam angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Anwar


Nama Lengkap : Anwar Pamungkas

Tempat Asal     : Ngawi, Jawa Timur

Jurusan             : Pendidikan Kimia angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Amin Rosyadi


Nama Lengkap : Amin Rosyadi

Tempat Asal     : Klaten

Jurusan             : Kimia angkatan 07 UIN Sunan Kalijaga

Kewajiban Berpoligami??

KEWAJIBAN BERPOLIGAMI?

Oleh: Anis Khurnia

Edisi Jumat, 02 Juli 2010


Suatu sore penulis dan teman-teman makan di sebuah resto milik pelaku poligami yang mencanangkan “poligami award”, salah satu menunya adalah juice poligami (juice yang terbuat dari aneka buah yang di-juice jadi satu), kami pun bercanda dengan menu tersebut “laki-laki yang di sini boleh minum juice-nya tapi tidak boleh berpoligami”, salah satu teman yang beragama non Islam pun bertanya “poligami itu kewajiban ya bagi orang Islam?”.

Pertanyaan yang sederhana tapi cukup membuat penulis berpikir kalau yang bertanya adalah orang non Islam pasti karena adanya ketidaktahuan dari ayat tentang poligami, penulis pun menjawab bahwa “poligami itu hukumnya boleh dilakukan dan dibatasi sampai 4 istri tetapi bukan berarti menjadi kewajiban bagi laki-laki ummat Islam seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, dan berhaji. Poligami itu salah satu solusi dalam masalah perkawinan apabila ada kondisi “tertentu” yang menyebabkan keluarga tersebut mengambil “keputusan untuk berpoligami”, yah seperti kita minum juice poligami  bukanlah kewajiban tapi memang ada menu juice poligami, juice guava, juice semangka, dll, kita boleh memilih tetapi tentu harus bertanggung jawab dan menerima resiko dari pilihan kita”.

Penulis pun berharap semoga laki-laki ummat Islam tidak berpikiran seperti teman penulis yang non Islam yang mengira poligami sebagai kewajiban dari ummat Islam.  Lalu bagaimanakah isi dan semangat dari ayat tentang poligami? Poligami diatur dalam Surat Annisa: 3

dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

Di masyarakat dikenal ada 2 model perkawinan yaitu monogami yaitu suatu hubungan timbal balik antara seorang laki-laki dan perempuan serta adanya anak untuk membentuk satu keluarga yang bahagia dan sakinah. Model yang kedua adalah poligami, menurut Black (1990) poligami yaitu perkawinan dengan banyak suami atau istri pada waktu bersamaan. Collins (1987) menyatakan poligami berasal dari kata poly dan gamos berarti banyak perkawinan (many marriages), polygyny (poligini) banyak “istri”.  Polyandry (poliandri) adalah banyak “suami”. Islam melarang poliandri (alasan ketidakjelasan nasab merupakan salah satu hikmah dilarangnya poliandri) dan membolehkan poligini, dengan syarat-syarat tertentu.

Sebelum turun ayat di atas, poligami sudah ada dalam kehidupan masyarakat dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ayat tersebut jelas mengatur dan membatasi poligami sampai empat orang istri saja, dan saat ini hamba sahaya dan perbudakan sudah tidak ada lagi sehingga berpoligami dengan alasan perbudakan sudah tidak relevan lagi. Dengan demikian semangat dari ayat tentang poligami adalah mengatur ummat Islam yang mengambil keputusan untuk berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, berlaku adil disini adalah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan istri dan anaknya seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah dan batiniah. Ayat tersebut jelas mengingatkan bahwa kalau tidak mampu berbuat adil sebaiknya menikah monogami agar tidak berbuat zalim terhadap istri dan anak-anaknya.

Membahas poligami seringkali menimbulkan kontroversi, bahkan beberapa waktu lalu sempat ada demonstrasi yang menentang RUU Perkawinan yang salah satunya isi RUU adalah mengatur tentang nikah siri dan poligami. Penulis sendiri berpendapat bahwa poligami tidak dilarang oleh Islam tetapi juga bukan kewajiban atau dianjurkan oleh Islam karena di ayat tersebut secara komprehensif telah menyebutkan bahwa poligami yang tidak dilakukan secara adil akan mengantarkan pelaku berbuat zalim terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dari segi hukum Islam jelas bahwa poligami “boleh” dengan syarat “adil”, tentunya syarat ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang “berkualifikasi dan terbukti adil” tidak hanya berdasar persepsi pribadi orang tersebut tetapi secara universal “diakui” oleh masyarakat.

Poligami yang tidak dilakukan secara “adil” akan rentan dengan konflik keluarga karena tentunya kehidupan keluarga poligami lebih kompleks dan rumit dibandingkan monogami karena adanya keterlibatan satu suami dengan lebih dari satu istri, sehingga tanggung jawab dan perhatiannya lebih dari satu unit rumah tangga, tentunya tuntutan dari segi waktu, keuangan, pribadi dan anak-anak dari istri-istrinya lebih besar. Ketidakberhasilan berlaku adil akan menimbulkan dampak psikologis terhadap istri dan anak yang akan menimbulkan perceraian, tentulah bukan hal ini yang diharapkan dalam sebuah perkawinan poligami.

Dampak psikologis istri pertama yang dikhianati dengan adanya pihak istri baru akibat poligami yang tidak dilakukan secara baik oleh suami dikemukakan Spring (1997) sebagai berikut:

  1. Istri kehilangan hubungan baik dengan suaminya dan kehilangan “identitas diri” dengan bertanya “siapakah aku sekarang?”. Sebelumnya ia adalah seorang yang dicintai, menarik dan berbagai hal yang positif. Gambaran ini berubah setelah suami menikah lagi. Gambaran diri berubah menjadi negatif, korban kehilangan identitas diri.

  2. Istri bukan lagi seorang yang berarti bagi suaminya. Ia akan sadar bahwa ia bukan satu-satunya orang yang berada di sisi suami yang dapat membahagiakan pasangannya. Harga dirinya terluka, ia merasa kehilangan penghargaan terhadap dirinya.

  3. Istri menjadi seorang yang sensitif, mudah marah, perilakunya sering tidak dapat ia kontrol karena emosinya lebih berperan, ia mudah sedih, sering curiga, tidak seimbang.

  4. Istri kehilangan hubungan dengan orang lain. Ia sekarang lebih menyendiri karena merasa malu dan rendah diri.

Apabila suami yang berpoligami bisa berlaku adil tentunya masalah psikologis istri pertama seperti yang dikemukakan Spring tidak akan terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya keluarga poligami yang bisa hidup berbahagia, kompak dengan keluarga lain dari suaminya, seperti keluarga poligami pemilik resto tempat penulis makan bersama teman-teman.

Dengan demikian poligami adalah pilihan sadar dari suami istri akan model perkawinan yang mereka pilih, bagi suami pilihan berpoligami bukanlah karena nafsunya tetapi karena pilihan tanggung jawab yang lebih besar dari perkawinan yang dia pilih, dan bagi istri-istri yang dipoligami adalah pilihan sadar untuk “berbagi suami” sehingga dia ikhlas dan bisa menerima “madunya” dengan baik seperti menerima dirinya sendiri sebagai istri suaminya.

Akhir dari tulisan ini adalah poligami bukanlah kewajiban tapi pilihan atas model perkawinan. Harus selalu diingat bahwa tujuan perkawinan adalah kebahagiaan seperti tersurat dalam Ar-Ruum  21:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.


Perkawinan bukanlah tentang jatuh cinta, tetapi tentang tinggal selamanya dalam cinta. -Anonim-

Wallahu ’alamu bishowab.